Arsip Blog

Selasa, 29 April 2008

PRANI

I Gede Adnyana, FGAH Dunia MayaPRANI OM AWIGNAMASTU NAMO SIDHAM OM ANOBADRAH KRATAWO YANTU WISWATAH Prani dalam kamus sansekerta artinya hidup. Kekuatan hidup (badan) ini bersumber dari makanan. Tidak akan ada badan jika tidak ada makanan (lihat pengantar Sarasamuscaya). Lebih dalam lagi menghaturkan prani artinya mempersembahkan hidup ini kepada Sang Hyang Widdhi. Dengan mempersembahkan hidup ini kepada Sang Hyang Widdhi kita akan memperoleh kekuatan hidup. Prani terbuat dari makanan, karena makanan memberikan kekuatan bagi segenap mahluk. Makanan yang disajikan adalah makanan yang bersumber dari ketulusan hati sebagai wujud rasa bakti, disajikan ditempat khusus untuk persembahan. Mengenai cara menyajikan diserahkan kepada umat untuk mempersembahkan yang terbaik. Bahan prani dapat terdiri dari: Sarwa tumuwuh misalnya nasi dan sayuran Sarwa metaluh misalnya ayam dan telornya Sarwa lekad (yang beranak) misalnya babi, menjangan, dsb. Jika ingin melengkapi maka hendaknya ditambah bumbu yang mengandung sad rasa sebagai inti sari panca maha bhuta (manis, asam, asin, pait, sepet, pedas). Setelah disajikan diatasnya ditaruh canang. Maknanya adalah melalui persembahan prani memohon kekuatan hidup, agar dapat menjalani hidup ini dengan kebijaksanaan (wiweka jnana). Hidup ini tidak akan berharga jika tidak diterangi oleh wiweka janana. Persembahan prani pada umumnya saat piodalan (Nyejer) atau saat pembangunan dengan harapan kita diberikan kekuatan, tahan godaan dan senantiasa bijaksana sehingga mampu menyelesaikan pembangunan dengan hasil yang baik sesuai harapan kita bersama. Untuk mempersembahkan prani tidak harus pemangku semua umat boleh menghaturkan dengan mengunakan berbagai bahasa (boleh bahasa Bali, Jawa, Bugis, Inggris, Jepang, hati dsb) yang intinya bermaksud mempersembahkan prani dengan harapan Hyang Widdhi memberikan anugrah bagi diri kita, keluarga, dan semua orang yang terlibat dalam pembangunan, berupa kekuatan hidup, tahan godaan dan senantiasa bijaksana. Caranya adalah diperciki tirta atau air yang dimohon untuk menyucikan (OM Bhatara Wisnu Titiang Nunas Tirta Pengelukatan Pebersihan). Setelah disucikan lalu disampaikan maksunya dengan bahasa sendiri. Atau dengan mantra : Om Bhuktiantu sarwata dewa, Bhuktiantu tri lokanam, Saganah sapari warah, sawarga sadasi dasah, Om Dewa boktre laksana ya namah, Om Dewa trepti laksana ya namah, Om Treptia parameswara ya namah swaha. Mengenai waktu persembahan prani untuk piodalan adalah saat Nyejer, sedangkan untuk pembangunan setelah memasak atau disesuaikan dengan kesempatan dan kemampuan warga. OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM

CUNTAKA

Motto “Kebersihan pangkal kesehatan” telah terbiasa didengar dan patut diwujudkan dalam kehidupan seharian. Bersih dan sehat yang mcli­puti lahir batin yang sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan perlu selalu diusabakan dan dipelihara. Lingkungan yang bersih dan sehat baik ruangan belajar, rumah tangga maupun lingkungan masyarakat dapat me­nimbulkan suasana yang bersih dan segar terhadap lahir batin seseorang. Lebih-lebih lagi keadaan bersih itu didukung oleh indah, rapi dan aman. Kebersihan dan kesehatan phisik secara individu dapat diusahakan dan dipelihara dengan jalan makan yang cukup sesuai dengan aturan kese­hatan, bekerja, olah raga, yoga asana, istirahat serta tidur yang cukup dan teratur. Di samping itu tentu kebersihan badan, pakaian dan sikap badan setiap bekerja harus pula tidak diabaikan. Sedangkan kebersihan dan kesehatan batin dapat diusahakan de­ngan jalan melaksanakan pranayama persembahyangan dan membaca serta mempelajari ajaran-ajaran agama secara terus-menerus. Kitab Manawa Dharma Sastra V. 109 menyatakan sebagai berikut: adbhirgatrani suddhyanti manah satyena suddhyati vidyatapobhyam bhutãtma buddhir jnanena suddhyati Terjemahan tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar. Faktor apakah, yang menyebabkan seseorang tidak suci (cuntaka) dan apa pula yang patut dilakukan .untuk memulihkan keadaan menjadi ncfrmal kembali? Berdasarkan sastra agama yang tata cara penterapannya telah ditetapkan dalam keputusan Seininar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu, maka keadaan cuntaka disebabkan oleh hal-hal berikut: 1. Kematian 2. Haid (menstruasi) 3. Wanita melahirkan 4. Wanita keguguran kandungan 5. Perkawinan 6. Wanita hainil tanpa biakaon 7. Bayi lahir dan kehainilan tanpa upacara 8. Perkawinan gamia gamana 9. Mitra ngalang (semara dudu) 10. Salah timpal 11. Karena sakit (sakit kelainan) 12. Karena melakukan Sad Tatayi Lebib lanjut sebelum ada proses pemulihan keadaan cuntaka menjadi nor­mal kembali, patut diketahui pula mengenai ruang lingkup dan batas waktu cuntaka sesuai dengan penyebabnya masing-masing. Adapun ruang lingkup dan batas waktu cuntaka ini adalah sebagai benkut A. Ruang lingkup 1. Kematian : keluarga terdekat sampai inindon serta orang-orang yang mengga­ garap upacara kematian maupun yang ikut mengantar jenazah ke setra, termasuk pula alat-alat yang dipergunakan dalam keper­ luan itu. 2. Karena haid : diri pribadi yang bersangkutan dan kamar tidurnya. 3. Karena melahirkan : diri pribadi, suaminya dan rumah yang ditempatinya. 4 Wanita keguguran : diri pribadiriya, suaminya dan rumah yang ditempatinya. 5. Perkawinan : penganten yang bersangkutari dan kamar tidumya. 6. Wanita hamil tanpa biakaon : diri pribadi yang bersangkutan dan kamar tidurnya. 7. Bayi lahir dan kehamilan tanpa upacara : diri pribadi, bayi dan rumah yang ditempatinya. 8. Perkawinan gamia/gamana : yang melakukan perkawinan dan Desa/Br. adatnya. 9. Mitra ngalang : orang yang bersangkutan dan ka­mar tidurnya. 10. Salah timpal : diri pribadi dan desa adatnya. 11. Karena sakit (kelainan) : diri pribadi dan pakaiannya. 12. Karena Sad Tatayi diri pribadi yang bersangkutan. B. Batas Waktu keadaan cuntaka 1. Kematian : disesuaikan dengan loka drsta dan sastra drsta. 2. Karena haid : selama masih kotor sampal mem­bersihkan diri pribadi. 3. Karena melahirkan : sekurang-kurangnya selama 42 hari dan berakhir setelah men­dapatkan tirtha pembersihan dan suaminya sekurang-kurang­ nya sampai kepus pungsed bayinya, setelah mendapat pembersihan. 4. Wanita keguguran : sekurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirtha pemhersihan. 5. Perkawinan : sampai mendapat tirtha pabia­kaonan. 6. Wanita hamil tanpa Biakaon : sampai dengan adanya upacara biakaon. 7. Bayi lahir tanpa upacara perkawinan :sampai dengan adanya yang “memeras” Si bayi sesuai agama Hindu. 8. Perkawinan gamia/gamana :sampai diceraikan, diadakan pembersihan baik terbadap diri pribadi maupun desa adat/kala­ngan desa. 9. Mitra ngalang : sampai dengan upacara biakaon. 10. Salah timpal : sampai diselesaikan sebagaimana mestinya menurut adat dan aga­ma Hindu. 11. Karena sakit (kelainan) :sampai sembuh dan mendapat tir­tha pabersihan. 12. Karena melakukan Sad Tatayi : sampai mendapat prayascita. Berdasarkan penyebab masa cuntaka itu terutama akibat kematian, maka bila dihubungkan dengan kegiatan di rumah sakit dan berbagai ke­jadian di masyarakat seperti kecelakaan lalu lintas, menyebabkan ruang lingkup cuntaka itupun luas pula. Keadaan ini tidak dapat d~tentukan ber­dasarkan darah keturunan atau hubungan keluarga maupun sistem banjar, suka duka. Hal ini dapat dipahaini, inisalnya : seorang dokter dan petugas lain­nya di rumah sakit terutama yang bertugas di ruang mayat tentu amat sering bersentuhan dengan mayat. Begitu pula masyarakat umum di luar dengan kadang-kadang harus bersentuhan dengan mayat karena menolong orang kecelakaan di jalan yang mati di tempat kejadian. Lebih-Iebih lagi oknum polisi lalu lintas yang tugasnya sehari-hari mengatur dan mengawasi keter­tiban dan kelancaran lalu lintas, tentu tidak luput menemui kecelakaan yang berakibat kematian yang langsung ditangani oleh petugas bersangkutan. Semua kenyataan tersebut dapat terjadi dan itu bukanlah upacara kematian. Walaupun deinikian semua orang yang turut menangani dan menyentuh mayat tadi langsung akan menjadi cuntaka. Oleh karena itu, petugas yang menyentuh mayat, sekalipun tidak ada hubungan keluarga dengan orang yang meninggal hendaklah para petugas itu membersihkan diri sebelum melaksanakan kegiatan keagamaan seperti persembahyangan ataupun upacara yadnya lainnya. Deinikian pula orang yang turut mengan­tar ke setra maupun orang yang ikut menggarap upacara kematian sese­orang wajib membersihkan diri. Tindakan pembersihan akibat peristiwa Se­rupa itu dapat dilakukan dengan jalan mandi dan metirta pebersihan. Memperhatikan ruang lingkup dan liinit waktu keadaan cuntaka tersebut terasa akan terjadi pula suatu kenyataan di luar jangkauan keten­tuan tadi yang sekaligus merupakan suatu persoalan baru. Akibat kemajuan berpikir manusia maka berbagai alat teknologi dapat diwujudkan. Dunia terasa sempit, karena seluruh pelosok, dunia dan malah angkasa luar dapat dijelajah oleh manusia berkat alat-alat teknologi yang canggih. Deinikian orang pada mulanya hidup berkelompok pada suatu wilayah bersama ke­luarga besarnya, namun kini keadaan sudah sangat bereda. Suatu keluarga besar di abad atom ini dapat terjadi hidupnya terpencar di berbagai pulau dan bahkan di berbagai negara. Hal ini merupakan akibat dan transmigrasi atau karena tugas maupun karena mencari penghidupan yang sudah tentu karena dukungan alat-alat tehnologi moderen. Dalam keadaan anggota keluarga terpencar seperti itu, bila salah seorang keluarga meninggal dunia yang menyebabkan cuntaka, maka ada kalanya kematian itu tidak segera dapat ditenma oleh anggota keluarga yang berada di luar daerah. Jadi ketentuan waktu cuntaka tidak dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Keadaan cuntaka seperti ini telah pula diatur oleh sastra agama sebagai berikut: Vigatam tu vides as tham srinuyãdyo hyanirdasam, yacchesam dasarãtras yah tãva devãsu cir bhavet (Manawa Dharma Sastra V.75) Terjemahan Ia yang mendengar bahwa salah seorang keluarga yang tinggal jauh meninggal dunia, sebelum sepuluh han menjelang, ia akan cuntaka selama han-han malam mengenap sepuluh han itu saja. Atikrãnte dasahe ca trirãtrama sucirbhavet, samvatsara vyatite tu spristvapo visuddhyati. (Manawa Dharma Sastra V. 76) Terjemahan Kalau masa sepuluh han itu masih lewat, sedangkan ia baru mende­ngarnya, ia cuntaka selama tiga han tiga malam, tetapi kalau setahun telah silam, ia menjadi bersih (normal) kembali hanya dengan mandi seteiah mendengar peristiwa itu. Dengan deinikian memulihkan keadaan cuntaka untuk menjadi normal kembali tidak semuanya mutlak mempergunakan upacara dan tirtha pabersihan maupun tirtha prayascita. Berbagai sarana pabersih diriyatakan oleh sarana agama untuk memulihkan keadaan cuntaka menjadi normal kembali, tentu disesuaikan dengan penyebab, ruang lingkup dan batasan waktu cuntaka itu sendiri. Jnãnam tape gniraharau mrin mano vãryupãjñãnam, vayuh kamãrkakãlau ca suddheh kartrini dehinãm. (Manawa Dharma Sastra V. 105) Terjemahan Yang merupakan sarana-sarana penyucian bagi makhluk hidup ada­lah pengetahuan kesucian, api, makanan suci, tanah, pengendalian pikiran, air, basma, angin,upacara suci, matahari dan sang waktu. Di samping kenyataan tadi, rupanya masih ada kemungkinan akan terjadi permasalahan lain dalam kehidupan beragama bila dikaitkan dengan keadaan cuntaka. Pelaksanaan upacara agama di masyarakat baik yang rutin seperti upacara piodalan maupun yang insidental banyak melibatkan pemuka agama seperti Pinandita maupun Sulinggih. Apakah para sulinggih dan pinandita akan segera menjadi cuntaka bila salah seorang keluarga beliau ada yang meninggal dunia? Bila hal ini terjadi, tentu akan sangat mengganggu jalan upacara agama di kalangan umat, karenaorang cuntaka tidak boleh muput (mempersembahkan) yad­nya. Para pinandita dan sulinggih tidak kena keadaan cuntaka sekalipun ada keluarga besar beliau yang meninggal dunia. Dengari deinikian kewenangan untuk mengantarkan (muput) yadnya umat yang melaksanakan upacara agama tetap dapat berlangsung. Para pinandita baru akan kena cuntaka bila anak dan istri/suaini beliau yang meninggal dunia. Sedangkan sang sulinggih beliau tidak mengalami cuntaka sama sekali, walaupun anak, istri atau suami beliau meninggal dunia. Hal ini disebabkan oleh proses penyucian yang telah dialami oleh beliau pada saat dilangsungkan upacara madiksa. Namun demikian masih ada kemungkinan beliau menjadi cuntaka yaitu apabila yang meninggal itu adalah “guru nabe” beliau yakni sang sulinggth yang “napak” beliau. Mengingat keadaan cuntaka berpengaruh besar terhadap pelaksana­an upacara agama dan terhadap kesucian Pura (tempat suci) maka hendaklah setiap umat Hindu selalu waspada dan sadar akan diri agar jangan sampai dalam keadaan cuntaka melakukan kegiatan agama yang tidak patut dilak­sanakan oleh yang bersangkutan. Hendaklah setiap umat yang sedang cun­taka berusaha mengendalikan diri karena memang ruang lingkup geraknya terbatas dan jangan membohongi diri. Lakukanlah pembersihan diri untuk mengakhiri keadaan cuntaka agar nantinya dapat leluasa melaksanakan upacara keagamaan. Demi suksesnya pelaksanaan upacara keagamaan tentu tidak cukup hanya didukung oleh keadaan tidak cuntaka, melainkan kebersihan dan kesehatan pribadi, keluarga dan lingkungan tidak dapat diabaikan dan harus selatu dipelihara. Sumber: Buku bacaan Agama Hindu SMA kelas 3 oleh tim penyusun, penerbit Hanuman Sakti Jakarta, 1996

Senin, 28 April 2008

Catur Guru

Catur guru artinya empat guru, yang mempunyai tugas yang cukup berat (catur=empat, guru=berat). Orang tua adalah guru rupaka, yang telah melahirkan kita, mengasuh kita hingga besar. Guru pasraman, sekolah adalah guru pengajian yang memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada kita. Pemerintah yang resmi dinegara kita adalah guru wisesa yang patut ditaati peraturannya. Yang terakhir adalah guru swadyaya yang merupakan guru sejati yaitu Sang Hyang Widdhi Wasa. Janganlah durhaka (alpaka) kepada Sang catur Guru ini karena sengsara akibatnya.

Guru bekas atau bekas guru?

Ungkapan kuno guru digugu dan ditiru seolaholah mulai pudar, dan semakin melemah signalnya. Zaman kali yuga para guru tidak lagi dihormati tapi bukan berarti sebagai profesi yang tidak terhormat. Sekali seseorang menjadi guru kita maka selamnya dia adalah guru kita! Sekali seseorang menjadi murid kita maka selamanya ia menjadi murid kita artinya tidak ada bekas guru atau guru bekas.

Forum Guru Agama Hindu Dunia Maya

Silahkan gabung di sini untuk yang berminat menjadi anggota FGAH Dunia Maya, saya tunggu gagasan anda untuk memajukan Pendidikan Agama Hindu se-Indonesia!

Vasudewah sarwam iti

“ Vasudewa h  sarwam iti ” Persaudaraan Semesta Oleh : I Gede Adnyana, S.Ag Prakata Pemirsa yang berbahagia, berbagai kejadian...