Arsip Blog

Kamis, 20 November 2008

MINTA DIKUBUR ATAU NGABEN

I Gede Adnyana, FDGAH Dunia Maya Jika suatu saat anda meninggal anda akan minta dikubur atau di aben? Mungkin anda akan berfikir biaya ngaben cukup mahal baiknya di kubur saja toh badan dalah sampah. Cerita pengalaman sang Ayah beberapa waktu sebelum meninggal mungkin perlu disimak. Suatu malam ayahanda tercinta mimpi ketempat dimana begitu banyak rumah kecil mungil yang hanya bisa ditempati satu orang setiap rumah (mungkin kuburan). Disana begitu banyak orang dengan pakain dekil dan sangat kotor serta penuh lumpur. Ketika hujan turun orang orang akan mengambil tempurung kelapa untuk mengambil air hujan dalam kubangan sebagai minumanya. Beranjak dari tempat itu bertemulah Ayah dengan sang Kakak yang telah di aben, ternyata pakainya bagus-bagus, bersih dan rapi. Orang-orang ditempat itupun bersih-bersih, tetapi mereka semua diam tak mau bicara walaupun di panggil. Jadi setelah membaca cerita ini apakah anda minta dikubur atau Ngaben?

SETIAP ROH MENUJU SORGA

I Gede Adnyana, FDGAH Dunia Maya Sebagain besar dari kita mungkin bertanya, kemanakah kita setelah meninggal? Apakah yang akan terjadi pada roh orang yang telah maninggal? Apakah akan mendapat sorga atau neraka? Melalui artikel singkat ini saya mencoba berbagai pengalaman seputar perjalanan orang yang telah meninggal seperti mimpi yang pernah saya alami. Ketika seseorang telah menghembuskan nafas melalui sembilan lobang yang ada pada tubuh manusia maka ia akan mendapatkan dirinya telah berada dibalik pintu dimana terdapat sebuah taman dengan sebuah bangunan balai bertiang satu yang merupakan tempat peristirahatan Dewata. Jika selama hidupnya seseorang tidak bisa menempatkan dirinya, terutama tidak bisa menghormati yang lebih tua, lupa dengan tata krama, maka di tempat ini adalah tempat hukuman pertamanya. Sang roh karena ketidaktahuanya akan duduk diatas balai bertiang satu sambil menikmati taman yang indah. Tiba-tiba munculah sang penjaga yang amat garang memutar balai tersebut dengan sangat cepat sehingga siapapun yang duduk disana akan mabuk, mual dan muntah. Setelah turun dalam keadaan mabuk dan muntah lalu dipukuli dengan menggunakan gada. Ini adalah siksaan pertama bagi yang tidak tahu etika dan tatakrama. Berikutnya tibalah sang Roh di Paibon dimana ia akan memperoleh nasehat tentang perjalanan menuju padang penangsaran atau Hutan kegelapan. Bagi yang memilih jalan putih akan melewati padang penangsaran, yaitu berupa padang pasir yang amat kering dan tandus dengan hujan kristal yang amat tajam. Serpihan kristal itu tercipta dari airmata orang tuanya, semakin orang tuanya sedih dan dibuatnya menderita hujan kristalnya semakin banyak. Bagi yang berbakti pada orang tuanya luput dari serpihan kristal tajam. Bagi yang tak pernah berpuasa atau Bratha maka akan sangat kehausan dan kelaparan ditengah teriknya matahari. Bagi orang yang melaksanakan ilmu hitam akan mengambil jalur kiri dimana akan melewati hutan kegelapan, yang penuh duri dan pohon besar yang sangat menakutkan, dan sangat mengerikan seolah semua pohon yang berada dikegelapan itu berusaha meraih dan menariknya, rasa takut yang luar biasa dialami sang roh yang demikian. Ketika tiba diujung padang penangsaran maupun hutan kegelapan tibalah di sebuah bukit dengan pohon senjata (kayu curiga) yang menarik para roh untuk istirahat, karena disana terdapat sebuah pura yaitu pura padnga penangsaran. Begitu duduk dibawah pohon tiba-tiba tanaman menjalar penuh duri menjerat dan mengikat roh menempel pada batang pohon, lalu berjatuhanlah daun-daun yang sangat tajam. Setelah beranjak dari sana para roh menuruni bukit dan tibalah diperkampungan maya (tipuan), dimana penduduknya akan menyambut dengan ramah, mempersilahkan para roh untuk istirahat. Roh yang tertipu segera masuk kedalam rumah-rumah tersebut, dan begitu masuk ditangkap dan dipukuli dengan menggunakan gada. Sambil kesakitan berlarianlah sang roh sampai akhirnya menemukan Samudra. Inilah ujung dari siksaan, inilah yang ditunggu para roh, yaitu memperoleh penyucian dari Hyang baruna, sebagai jalan naik ke Sorga. Di sisni siksaan sang roh berakhir. Kisah ini diceritakan berdasarkan mimpi saya beberapa waktu sebelum ayahanda tercinta melaluinya. Om Santih, Santih, Santih, Om

Senin, 10 November 2008

I Gede Adnyana, FDGAH Dunia Maya Ramayana Dan Mahabharata Menyimak “Dongeng” Ramayana dan Mahabharata oleh : Darmayasa “Masih terjadi kesimpangsiuran di kalangan umat Hindu sendiri, akibat tidak adanya informasi yang benar dan/ atau informasi keliru tentang Ramayana dan Mahabharata; apakah ia sebuah kenyataan yang memang benar-benar terjadi, ataukah hanya dongeng belaka. Kesimpangansiuran terjadi dikalangan non Hindu adalah kewajaran, sepanjang ia bukan ‘serangan’. Jika hal itu terjadi di lingkungan umat Hindu, tentu ia harus segera dikoreksi untuk menghindari ‘pengikisan’ sraddha (keimanan) umat terhadap kebenaran ajaran sucinya.” Kita tidak menyinggung bagaimana anak-anak sekolahan diajarkan tentang keberadaan Ramayana dan Mahabharata. Sewaktu saya di PGAHN Denpasar dan IHD, saya mendapat penjelasan “tidak pas” tentang Ramayana dan Mahabharata, yang sangat bertentangan dengan apa yang saya baca dan dengar dari sumber lain yang dapat dipercaya. Sejak itu saya masukkan “topik” itu ke dalam “file” saya. Sejak mendapat kesempatan sebagai Dharma Duta PHDI pusat, dalam ceramah-ceramah di berbagai tempat saya mempergunakan kesempatan itu untuk menjelaskan pada umat Hindu akan keberadaan kitab suci Ramayana dan Mahabharata sebagaimana adanya. Seperti telah saya sebutkan di depan dan saya merasa perlu menggarisbawahinya lagi di sini bahwa pernah terjadi di satu tempat seorang sekretaris PHDI menyela ceramah dan berdiri di depan mike berkata,” Apa yang telah pernah saya sampaikan dulu, mohon dianggap tidak ada….”, dan kami semua pada tertawa. Dalam sebuah kitab Purana ada disebutkan bahwa zaman Kali, salah satu kelemahan manusia adalah gampang disesatkan. Begitu pula halnya dengan kejadian di atas, disusul oleh keraguan Bapak Sekretaris tersebut karena ia mendapat penjelasan lain lagi dari seseorang yang mesti ia percayai. Akhirnya saya berpendapat sangat perlu menyebarkan informasi tentang hl ini lebih meluas lagi, terutama didorong oleh pertanyaan peserta tatap muka Prof. Dr. Satyavrat Shastri baru-baru ini di Denpasar. Saya yakin pertanyaan-pertanyaan dan keraguan serupa masih menjamur di masyarakat. Saya harap, tulisan ini tidak diterima sebagai “bom” sebaliknya mudah-mudahan ini dapat menjadi paling tidak menjadi sebuah bahan perbandingan. Di dalam kelompok kitab-kitab suci agama Hindu ada satu kelompok yang dinamakan Itihasa. Termasuk di dalamnya adalah Mahabharata dan Ramayana. Kadang-kadang, melihat penempatan Itihasa di dalam pengelompokan kitab-kitab suci Hindu di bagian akhir, orang-orang sering terkecoh mengartikan Itihasa sebagai kitab-kitab yang tidak begitu penting, diabaikan dan hanya dikutip-kutip untuk memperindah karya tulis atau ceramah. Beberapa kitab membantah peremehan nilai kitab-kitab Itihasa, dan sebaliknya menempatkannya di tempat yang amat menentukan khususnya dalm zaman Kali atau zaman penuh kekalutn ini. Sarasamuccaya menganjurkan hendaknya orang mempergunakan Itihasa sebagai penunjang penting untuk mempelajari dan menjelaskan Mantra-mantra Veda sebab Veda takut dengan orang yang sedikit pengetahuannya (apan sang hyng Veda atakut ring akedik ajinya). Agaknya Sarasamuccaya patuh mengikuti beberapa kitab suci seperti Vayu Purana dan lain-lain. Itihasa-puranabhyam Vedam samupabrmhayet Bibhetyalpasrutad vedo Mamayam praharisyati Kutipan sloka dari Vayu Purana di atas menegaskan kepentingan Itihasa dalam usaha mempelajari dan menjelaskan mantra-mantra Veda, yang sering mengandung arti ganda dan dalam, yang memerlukan penjelasan dan contoh-contoh lebih jauh. Alpa-srutad berarti dari orang-orang yang sedikit pengetahuan atau orang-orang yang tidak mempelajari Itihasa . Bibheti berarti ketakutan. Veda ketakutan dengan orang-orang yang tidak memanfaatkan Itihasa untuk menjelaskan Veda. Kata Veda,”Orang itu akan memukulku…” (mamayam praharisyati). Menurut Brahmanda Purana, orang-orang demikian disebut naiva sasyad vicaksanah, bahwa orang-orang demikian sama sekali tidak bijaksana adanya. Hanya orang-orang bijaksana yang berhak menjelaskan ajaran suci Veda. Jika orang-orang yang tidak bijaksana menjelaskan mantra-mantra suci Veda, maka penjelasannya akan mengacaukan Veda itu sendiri, dan itulah “pukulan” keras pada Veda. Tentu saja sebagai umat yang mengagungkan kitab-kitab suci Veda, tidaklah dibenarkan mengadakan pengacauan pengertian-pengertian ajaran suci Veda. Hal ini juga berakibat fatal pada umat Hindu pada umumnya; kalau ia tidak mengantarkan orang pada “persimpangan jalan”, ia pasti mengantarkan orang pada penolakan Veda/Hindu Dharma. Dari pandangan kesusastraan Sanskerta, Itihasa mendapat tempat yang sangat penting tidak hanya dalam Purana-Purana tetapi juga dalam kitab-kitab Upanisad. Sama dengan Veda, Itihasa pun dianggap keluar dari nafas Tuhan Yang Mahaesa : Asya mahato bhutasya nihsvasitametd yad rg-vedo yajur-vedah sama-vedo’thravangirasah itihasah puranam (Brhadaranyaka). Selain itu, Itihasa juga diterima sebagai “Veda-nya Veda” : Sahovaca rg-vedam bhagavo’dhyemi yajur vedam sama-vedamatharvanamcaturtham, itihasa-puranam pancamam vedanam vedam (Chandogya Upanisad). Makna yang terkandung di dalam kutipan Chandogya Upanisad di atas adalah bahwa Itihasa bukan hanya dianggap sebagai Pancama Veda atau Veda kelima saja melainkan ia juga adalah alat untuk menunjukkan arti Veda yang sebenarnya. Hal yang sama juga ditekankan oleh Bhagavata Purana : Itihasa-puranani pancamam vedamisvarah’ sarvebhya eva vaktrebhyah sasrje sarva-darsanah. Setelah melihat beberapa kutipan di atas yang diharap dapat memberikan gambaran akan pentingnya Itihasa dalam pelajaran Veda, sekarang kita hendak melihat apakah arti dari Itihasa itu? Kata Itihasa berasal dari kata iti+ha+asa. Iti kurang lebih berarti demikianlah, sering dipergunakn untuk menunjukkan Ramayana dan Mahabharata. Ha berarti pasti, dan asa berarti yang benar-benar telah terjadi. Dalam hal ini maksudnya adalah demikianlah peristiwa Ramayana dan Mahabharata memang benar-benar telah terjadi. Demikian mudah dan sederhananya cara menerima dan mengartikan kata Itihasa. Dan tiu memang cara dalaml sanskerta untuk mengetahui suatu kata atau istilah. Sebagai contoh, mengapa seorang anak disebut dengan kata Putra? Pengertian kata ini dijelaskan oleh kitab suci dan para pendeta yagn ahli Sanskerta sebagai : pun nama narakat trayate iti putrah. Berarti seorang putra adalah ia yang (karena kesucian dan keetinggian bhaktinya) dapat menyelamatkan roh-roh leluhurnya dari neraka. Demikian pula mengapa seseorang disebut sebagai suami? Ia berasal dari kata Sanskerta svami yang berarti pengendali. Seorang suami harus menjadi pengendali dari istrinya. Tetapi, sebelum itu ia harus menjadi pengendali dari hawa nafsu, kemarahan, kegelapan/avidya dan mengendalikan diri dari segala sifat adharma/ketidakbenaran. Setelah itu barulah ia berhak menjadi pengendali dari si Istri. Demikian pula dengan kata Vyasa, Valmiki dan lain-lain. Melihat pengertian kata Itihasa, orang mestinya tidak ragu lagi menerima kitab Ramayana dan Mahabharata sebagai sejarah yang memang benar telah terjadi, tidak mungkin para rsi kita yang sangat terpelajar dan bebas dari ketidakjujuran menempatkan hal-hal dongeng dalam bagian Itihasa (kata yang berarti sejarah). Sungguh tidak masuk akal jika demikian halnya. Ia akan menunjukkan bahwa para rsi seperti Vyasa, Valmiki, Kanva, Atri, dan lain-lain adalah dongeng semata-mata. Hal tiu tentu saja akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya khususnya untuk mereka yang memiliki sraddhayang lemah pada ajaran-ajaran suci Vada. Satu hal lagi yang mungkin menyebabkan orang-orang meragukan kejadian Ramayana dan Mahabharata karena ia (Ramayana dan Mahabharata) terbentuk atau tertulis dalam bentuk puisi (sloka-sloka). Jika kita teliti dengan baik, akan dijumpai bahwa hampir semua kitab-kitab suci agama Hindu tertulis dalam bentuk puisi (bukan puisi permainan kata-kata biasa tetapi ia adalah sebuah hasil seni yang sangat halus dan tinggi, yang mudah-mudahan saya mendapat kesempatan untuk membahasnya secara terpisah nanti). Dan kalau kita jujur, sebagian besar kitab-kitab suci lain juga terbentuk dalam bentuk puisi. Jadi, alsan ini tidak tepat untuk menyebutkan kitab-kitab Itihasa sebagai story dan bukan history, atau ia hanya dongeng yang berisikan ajaran-ajaran moral dan agama. Kitab Ramayana dan Mahabharata selain telah sangat terkenl di seluruh dunia, juga telah berhasil “mencuri” hati para penduduk asli dimana ia tersebar sehingga mereka menganggap kejadian Ramayana dan Mahabharata terIadinya adlah di daerah mereka sendiri dan bukan sesuatu yang datang dari luar. Di Thailand misalnya, mereka menganggap kejadian Ramayana adalah di Thailan sendiri dan bukan sesuatu yang datang dari India, sampai-sampai mereka membuat Ayodhyalain di sana (mereka menyebut AyuIhaya). Di indonesia kita, keterkenalan Ramayana dan Mahabharata telah begitu mendalam, khususnya di Jawa dan Bali. Sewaktu saya memberi ceramah di University Indonesia, selesai ceramah seorang dosen menyalami saya sambil berkata, “Anda berbicara tentang peradaban kami…”. Topik ceramah saya waktu itu adalah Ramayana dan Mahabharata. Keterkenalan Ramayana khususnya sngat mengagumkan. Bahkan ia telah menjadi kecintaan di negara-negara komunis seperti Rusia dan Cina. Profesor Varavniko sangat terkenal di Rusia karena karya dan kecintaanya akan Ramayana. Profesor dari Cina yang yang bersama saya diwwancarai oleh Televisi India telah menerjemahkan Ramayana ke dalam bahasa Cina. Beliau menjualnya sebanyak 5000 (lima ribu) ekselembar hanya dalam dua bulan saja. Di India sendiri, selain Valmiki Ramayana dijumpai kurang lebih tiga ratusan versi Ramayana dengan pengarang berbeda, mengambil sumber Vlmiki Ramayana atau yang bersumber darinya. Di luar India pun terdapat banyak versi Ramayana. Jika bukan kejadian nyata, Ramayana dan Mahabharata tak akan menglami keterkenalan yang begitu meluas dan dalam waktu yang amat panjang. Kedua Mahakavya in adalah sejarah suci. Bahkan disebutkan, Tuhan dan paraDewa-lah yang turun kedunia dengan tujuan menghancurkan kejahatan dan mendirikan prinsip-prinsip Dharma yang murni lagi. Di beberapa tempat malah disebutkan siapa yang menjadi siapa di dalam sejarah suci itu. Inilah yang menyebabkan kedua Mahakavya in menjadi terkenal, diminati dan dimiliki oleh seluruh dunia sepanjang zaman. Maharsi Valmiki akhirnya merasa perlu menekankan keabadian Arsa-kavya (yang ditulis oleh orang suci) ini : Yavat sthasyanti girayah saritas ca mahitale tavat Ramayana katha lokesu pracalisyati “Selama gunung-gunung masih tegak berdiri, selama sugai-sungia masih tetap menglir di atas permukaan bumi ini, selama itu Ramayana akan tetap ada di muka bumi ini.” Selain sebutan Itihasa, Ramayana dan Mahabharata juga disebut sebagai Akhyayika dan Mahakavya, Akhyayika dalam kamus sanskertaterkenal Amarakosa oleh Amara Singha disebutkan sebagai cerita yang benar telah terjadi(akhyayiopalabdhartha). Sedangkan disebut Mahakavya adalah karena ia harus mengambil sumber cerita sejarah, atau mengambil sumber cerita satu tokoh amat terkenal di msyarakat. Acarya Dandi dalam Kavyadarsa-nya menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Mahakavya, yaitu : sarga-bandho mahakavyam ucyate tasya laksanam asir-namaskriya vastur- nirdeso vapi tan-mukham itihasa-kathodbhutam itarad va sadasrayam catur-varga-phalopetam caturodatta-nayakam “Yang dinamakan Mahakavya adlah karangan yang terbentuk dalam Sarga/bait-bait yagn terikat oleh berbagai aturan-aturan.Ciri-ciri Mahakavya adalah : Asirvacana atau kata-kata berberkah, sembah sujud kepada Tuhan, Dewa, Guru dan lain-lain, atau dimulai dengan ulasan singkat tentang keseluruhan isi karangan/perkenalan para pelaku uatama. Mahakavya harus berlindugn pada cerita sejarah, atau tokoh amat terkenal, dan Mahakavya harus pula menjelaskan tentang Catur Varga (Dharma, Artha, Kama dan Moksa) dan pahalanya, pelaku utama harus mempunyai sifat-sifat yang agung, dan lain-lain.” Jadi, sebuah karya Mahakavya harus bernilai sejarah nyata (itihasa-kathodbhutam). Hal inilah yang menyebabkan Mahakavya mendapat perhitungan perhitungan penting dalam penyusunan sejarah. Itihasa dan Purana biasanya selalu disebutkan secara bergandengan. Keduanya mengandung pengertian sejarah. Purana menjelaskan sejarah para dewadan sejarah kuno dan lebih menekankan pada nilai keagamaan/kerohanian. Sedangkan Itihasa lebih menekankan nilai sejarah. Penulis kedua karya raksasa itu sama-sama hidup dalam zaman kejadian, dan keduanya sering muncul di sela-sela karyanya. Beliau berdua, Maharsi Valmiki dan Vyasa sama-sama melihat dan mengalami kejadiannya. Itulah yagn beliua abadikan dalam bentuk sloka-sloka suci. Apakah ada alasan lebih kuat daripada alasan ini untuk membuktikan nilai sejarah dari Ramayana dan Mahabharata? Sebagai contoh, kita lihat Maharsi Valmiki dalam Ramayana sebagaimana terdapat di dalm Ramayana itu sendiri. Pertama kali Ramayana ditulis oleh Maharsi Valmiki, dalam bahsa Sanskerta. Bgaimana Maharsi Valmiki sampai tertarik menulis Ramayana disebutknan dalam bagian awal-awalnya (Bala Kanda) Pada suatu ketika, Maharsi Valmiki sedang bertapa di pertapaannya datanglah Rsi Narada. Valmiki bertanya pada Rsi Narada: ko nvasmin sampratam loke gunavan kasca viryavan dharmajnasca krtajnasca satyavakyo drdhavratah “Wahai Maharsi Narada, sekarang di dunia ini, siapakah orang yang memiliki segala sifat-sifat yang baik, sangat perkasa, mengetahui segala dharma, penolong setiap makhluk, selau berkata-kata jujur dan mantap dalam pelaksanaan sumpah-sumpah suci?” Maharsi Valmiki menanyakan keberadaan seseorng pada waktu itu, yang hidup pada waktu itu, yagn hidup pada waktu itu, yang hidup pada masanya Maharsi Valmiki hidup (ko nvasmin sampratam loke). Selain sifat-sifat agung yang ditanyakan dalam sloka di atas, pertanyaan tersebut masih disambung oleh daftar sifat-sifat mulia lainnya lagi. Terhadap pertanyaan tersebut Rsi Narada menjawab: iksvakuvansa-prabhavo ramo nama janaih srutah niyatatma mahaviryo dyutiman dhrtiman vasi Maharsi Narada mengatakan bahwa setelah mempertimbangkannya matang-matang, yang memiliki sifat-sifat agung yang jarang dimiliki oleh manusia tersebut tidak lain adalah beliau yang lahir di keluarga Iksvaku (iksvakuvansa-prabhavah), dikenal oleh rakyat dengan sebutan Rama (ramo nama janaih srutah). Selanjutnya Rsi Narada menyebutkan puluhan sifat-sifat agung yang dimiliki oleh Sri Rama, termasuk riwayat hidup Sri Rama. Jumlah sifat-sifat agung dan riwayat Sri Rama sebagai yang disampaikan oleh Rsi Narada kepada Maharsi Valmiki tersebut dapat dilihat dalam Valmiki Ramayana bagian Bala Kanda. Tidak lama setelah Rsi Narada meninggalkan pertapaan Maharsi Valmiki bersama muridnya Rsi Bharadvaja pergi menyucikan diri di sungai suci Tamasya. Beliau menikmati pemandangan dan air sungai yang menawan hati. Keindahan suasana itu diperindah lagi oleh pasangan burung Kraunca yang sedang berkasih-kasih. Sedangkan asyiknya menikmati pemandangan tersebut, tiba-tiba burung Kraunca jantan jatuh menggelepar-gelepar ke bawah oleh panah tajam seorang pemburu. Burung Kraunca betina menjerit-jerit karena berpisah dengan jantannya. Melihat pemandangan amat menyedihkan itu Maharsi Valmiki menjadi sedih, dan tanpa sadar dari bibir beliau keluar kata-kata kutukan: ma nisada pratistham tvam agamah sasvatih samah yat kraunca mithunad ekam avadhih kama-mohitam “Wahai Pemburu! Semoga kau tidak akan pernah merasakan ketenangan dan kedamaian hidup untuk selamanya karena kaku telah membunuh burung Kraunca yang tidak bersalah dan sedang dalam keadaan berkasih-kasihan.” Begitu keluar kata-kata kutukan tersebut beliau menjadi sadar, “Wah…, apa yang telah terjadi? Mengapa aku telah mengutuk pemburu itu tanpa sadar?” Kembali Maharsi Valmiki menjadi sedih oleh kutukan yang keluar tanpa disadari. Pemandangan dan kesedihan tersebut terus berbekas sampai di pertapaan. Waktu itulah muncul Dewa Brahma mengatakan bahwa beliaulah yang menyebabkan Dewi Sarasvati masuk ke dlam bibir Rsi Valmiki untuk mengeluarkan Chanda baru, Chanda yang bahkan mengherankan Rsi Valmiki sendiri sebagai pengucapnya. Sekaligus memerintahkan Rsi Valmiki untuk menulis riwayat Sri Rama lewat Chanda baru tersebut. Beliau menjamin Rsi Valmiki, semua riwayat Sri Rama akan diketahui oleh Rsi Valmiki dengan sendirinya, baik yang nampak maupun tidak nampak dan bersifat pribadi (rahasyam ca prakasam ca yad vrttam tasya dhimatah). Sebagaimana Maharsi Vyasa menganugerahkan pandangan batin kepada Sanjaya sehingga Sanjaya dapat menceritakan kejadian perang dahsyat di Kuruksetra kepada raja Dhrstarastra, begitu pula Dewa Brahma menganugerahkan pandangan rohani kepada Rsi Valmiki sehingga dapat melihat dengan jelas riwayat Sri Rama sepenuhnya. Selain itu, Rsi Valmiki juga hadir dalam beberpa kejadian Ramayana. Hal ini lebih memperkuat lagi bukti bahwa Ramayana bukanlah kejadian bikinan, khayalan atau dongeng belaka. Pada akhirnya Dewa Brahma memberikan keyakinan lagi kepada Maharsi Valmiki bahwa apapun yang nantinya akan ditulis oleh Maharsi dalam karyanya riwayat Sri Rama (Ramayana) sama sekali tidak akan pernah bohong (na te vaganrta kavye ka idatra bhavisyati). Memang, oleh karena penyampaian oleh Maharsi Valmiki tidaklah lewat penyampaian sejarah seperti sekarang ini, sering orang meragukan nilai sejarah Ramayana. Zaman/sejarah Rsi Valmiki bukanlah sejarah seribu atau dua ribu tahun yang lalu, melainkan ratusan juta tahun yagn silam (dalam zaman Treta). Apakah sejarah silam itu dapat dibaca dan dimengerti oleh orang-orang zaman sekarang ini? Kecuali oragn berusaha/bersedia menempatkan kesadarannya ke zaman itu, kecuali orang bersedia “membawa dirinya” ke zaman Ramayana itu barulahada kemungkinan orang mampu mengerti sejarah purba itu. Sejarah Maharsi Valmiki adalah sejarah rohani, yang bertujuan menyampaikan dharma, artha, Kama dan Moksa kepada umat manusia. Sejarah yang ingin membentuk umat manusia yang tenang sejahtera secara duniawi, dan berbahagia secara rohani, pada akhirnya dapat mencapai pembebasan (moksa), bebas dari perputaran sengsara. Sehingga secara sastra Veda, sejarah didefinisikan sebagai pembawaan “pesan” rohani atau Dharma (kebenaran, kewajiban-kewajiban suci), Artha (harta benda), Kama (keinginan-keinginan di jalan dharma) dan Moksa (pemebsan dari kesengsaraan): dharmartha-kama-moksanam upadesa-samanvitam purva-vrttam katha-yuktam itihasam pracaksate (Visnu Dharma.1.15.1) Sahitya Darpana yang telah terkutip di depan juga menjelaskan persyaratan yang dama terhadap Itihasa (sejarah), bahwa ia harus menjdi medium untuk menyampaikan dharma, artha, Kama dan Moksa kepada umat manusia. Akhirnya jika ada yang bertanya masalah tempat-tempat peninggalan sejarah purba tersebut, masih ada sekarang ini ataukah tidak, jawabannya adalah sebagai berikut: Sebagian besar tempat-tempat peninggalan sejarah purba tersebut msih ada dan dapat kita lihat di India; Ayodhya, Naimisaranya, Hastinapura, Indraprastha, Badarikasrama (tempat pertapaan Maharsi Vyasa), tempat muncul Sri Krsna (Sri Krisna Janmasthan) di Mathura, tempat bermain-main Krsnawaktu kecil di Vrindavan, bekas medan perang Kuruksetra, tempat Bhagavad-gita diwejangkan, Sitamadhi (tempat Dewi Sita ditemukan dari dalam tanah), gunung Citrakuta, Pancavati, Pampa Sarovara, Ramesvaram (tempat Sri Rama membuat setubandha atau jembatan untuk menyeberang ke Lengka), dan lain-lain. Karena satu dan lain alasan bekas-bekas peninggalan tidak dapat dijumpai. Berita terakhir memperlihatkan gambar yang sangat jelas dasar lautan antara Rameshwaram dengan Srilangka menunjukkan bekas-bekas penyeberangan menyerupai jembatan. Gambar tersebut diambil dengan kamera “khusus” NASA, dan kiranya patut menjadi pertimbangan bagi kita dalam usaha menafsirkan jembatan “Setubandha” zaman Ramayana. Istana kerajan Majapahit yang baru “kemarin” saja kita tidak jumpai lagi, apalagi peninggalan sejrah yang telah ratusan juta tahun. Tidak terjumpai sisa-sisa kerajaan Majapahit secara jelas tidak berarti kerajaan Majapahit itu tidak pernah ada. Tetapi, belakangan diadakan penggalian terhadap bekas kerajaan Sri Krsna, Dvarika/Dwarawati yang telah tenggelam dilaut. Ternyata dijumpai bekas-bekas peninggalan istana Dwarawati tersebut, dan para ahli memperkirakan usianya sekitar tiga ribu lima ratus sampai lima ribu tahun lalu. Di temple atau tempat sembahyang Dvarika, di sebuah pilarnya dapat dijumpai daftar sampai seratus keturunan Sri Krsna. Saya minta maaf, tidak menceritakan secara detail dan banyak tentang tempat-tempat suci bersejarah tersebut. Akhirnya saya ingin mengajak semuanya untuk kembali kepada pengertian Itihasa itu sendiri. Itihasa berarti sejarah dan Ramayana-Mahabharata termasuk dalam kelompok Itihasa. Berarti, Ramayana-Mahabharata dalah sejarah, sejarah suci, dan ia adalah kitab suci. Maharsi Vyasa, Valmiki, Vasistha, Kanva dan lain-lain memang pernah ada. Hanya karena kesaktin beliau-beliau yang luar biasa dan kegiatan beliau-beliau yang tidak dan/atau sulit diterima oleh akal kita yang serba terbatas zaman ini, bukanlah alasan untuk mengatkan beliau hanyalah dogeng belaka. Semoga semua mendapat penerangan suci. Mangalam Astu. Source : Darmayasa-divine-love.com
I Gede Adnyana, FDGAH Dunia Maya THEOLOGI HINDU I. PENDAHULUAN Agama merupakan ajaran yang bersumber dari penguasa Agung alam semesta, sebagai awal, tengah dan akhir dari sarwabhawa (segala yang ada). Ia sangat sempurna, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa awal, tengah, dan akhir. Bagaimanapun kita memikirkan-Nya sangatlah tidak mungkin membayangkan Ia yang Maha sempurna dengan pikiran yang sangat terbatas. Lalu bagaimanakah cara Hindu mengenal siapa yang disembahnya? Sebelum memasuki materi Siwa Tattwa perlu dipahami pola pikir yang akan mengantarkan kita belajar Hindu secara benar. Menurut Drs. I Gede Sura, sedikitnya ada tiga pola pikir: 1. Pola pikir Ilmiah yaitu pola pikir yang didasarkan pada proses ilmiah atau dikenal juga dengan kebenaran keilmuan. Pola pikir ini sangat berguna dalam penelitian-penelitian ilmu pengetahuan yang lebih mengedepankan logika. Orang yang berhasil menerapkan pola pikir ini dikenal dengan ilmuan. Misalnya Einstein, Thomas Alpha Edison, dsb. 2. Pola pikir Filsafat, didasarkan pada renungan secara mendalam oleh manusia sehingga kebenaran yang diperoleh adalah kebenaran filsafati, sedangkan sang perenung yang memperoleh jawaban atas pokok persoalan yang dipecahkan disebut Filosof atau filsuf. Misalnya: Plato, Aristoteles, dsb. 3. Pola pikir Agama yang bersumber dari keyakinan. Karena bersumber dari keyakinan maka pola pikir agama lebih mengutamakan rasa. Pola pikir agama sangat dipengaruhi oleh ajaran dari masing-masing agama, karena itu agama yang berbeda memiliki pola pikir yang berbeda pula. Pola pikir Agama Hindu akan berbeda dengan pola pikir Islam, Kristen, Katolik maupun Buddha. Untuk memperoleh cara berfikir yang sistematis, seseorang harus memilah-milah sendiri dalam pikirannya apakah ini agama, apakah ini filsafat ataukan ilmiah. Namun dalam kenyatannya terkadang ada kaitan antara satu pola pikir dengan pola pikir yang lain, yang mana hal ini akan menimbulkan kerancuan apabila tidak didasari oleh Wiweka. Campur aduk pola pikir agama-agama sangat sering terjadi sehingga terkesan adanya pemaksaan atau penjajahan oleh satu agama terhadap agama yang lain. A. Tuhan Dalam Weda Didalam Veda kita bisa melihat begitu banyak nama Dewa yang seringkali bahkan tidak kita temukan pemujaannya dewasa ini. Dewa berasal dari kata Dev yang artinya sinar, Dewa dalam hal ini merupakan sinar suci dari Sang Hyang Widhi Wasa. Jumlah Dewa-Dewa dalam Reg Weda I. 139. 11 disebutkan ada 33: Ye dewaso divy ekadasa stha prthivyam adhy ekadasa stha, apsuksito mahinaikadasa stha te devaso yajnyamimam jusadhvam. Artinya: Wahai para Dewa (33 Dewa), sebelas di sorga, sebelas di bumi, dan sebelas di langit, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini. Sedangkan dalam Reg Weda III. 9.9 bukan hanya 33 Dewa melainkan ada 3339 Dewa, dan diantara semua Dewa Reg Weda menggambarkan Surya sebagai Dewa tertinggi. Hal ini ditegaskan dalam Reg Veda I.50.10: Udvayam tamasaspari jyotis pasyanta uttaram, Devam devatra suryamaganma jyotiruttamam. Artinya: Lihatlah menjulang tinggi di angkasa, cahaya yang terang benderang mengatasi kegelapan telah datang, Ia adalah Surya, Dewa dari seluruh Dewata, cahaya-Nya yang terang itu betapa indahnya. Weda sebagai sumber pertama dan utama memuat begitu banyak Dewa, yang dihubungkan dengan wilayah atau lingkungan, bahkan aktivitas dan sifatnya. Agni berhubungan dengan bumi, angkasa dengan Vayu dan Indra sebagai Dewatanya, surga dengan surya sebagai dewatanya. Semua Dewa-Dewa merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Tunggal, hal ini diuraikan dalam Reg Weda Mandala I Sukta 164 Mantra ke-46 yangmenyebutkan: Indram Mitram Varuna Agni ahur atho divyah sasuparno garutman, Ekam sad vipra bahudha vadhantyagnim yamam matarisvanam ahuh. Artinya: Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan dia yang bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok. Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan. Dalam komentarnya tentang Dewa-Dewa Drs. I Gede Sura memberikan kesimpulan yang sangat kuat yang dapat dijadikan kesimpulan. Dewa merupakan perwujudan Sang Hyang Widhi Wasa atau manifestasi dari Yang Maha Tunggal. Demikian pula salah seorang Yogin dari India Sri Aurobindo memaparkan tentang nama Dewa dengan tafsiran yang menkajubkan; Agni berarti Tuhan yang Maha Mengetahui dan yang sangat dimuliakan; Indra berarti Tuhan Yang Maha Cemerlang; Soma sebagai tuhan yang layak kita cintai, dan kita abdi; Varuna adalah Tuhan Yang Maha Adil, Maha Mulia; Savita, Tuhan Sang Pencipta; Visnu, Tuhan Maha Ada; Pusan, Tuhan sebagai pemelihara; dan Marut adalah nafas vital. Melalui kutipan diatas dapat kita simpulkan bahwa nama-nama Dewa sangat populer pada Jaman Weda yang dikaitkan dengan alam pengalaman manusia. Dewa yang berbeda dipandang memiliki fungsi yang berbeda, namun semuanya adalah perwujudan dari Yang Esa. Dengan demikian maka ajaran Ketuhanan dalam Veda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun ia meliputi segala mempunyai banyak nama. Ia yang esa berada pada semua yang ada dan semua yang ada berada pada yang Esa. B. TUHAN DALAM UPANISAD Upanisad artinya duduk di dekat guru untuk mendengarkan ajaran. Cara belajar Upanisad banyak dilakukan diasrama-asrama dalam hutan-hutan (aranya) sehingga kitab upanisad sering disebut juga Kitab Aranyaka. Lahirnya kitab Upanisad merupakan babak baru bagi perkembangan Agama Hindu di India, yaitu peralihan dari Zaman Brahmana yang lebih mengutamakan Yajnya sebagai jalan mendekatkan diri Kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Secara tradisi kita mengenal 108 kitab Upanisad yang merupakan ulasan-ulasan dari guru yang berbeda misalnya: Isa upanisad, Chandogya Upanisad, Brhadaranyaka Upanisad, Kena Upanisad, Svetasvatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan sebagainya. Yang sangat menakjubkan dalam kitab Upanisad adalah ulasan-ulasan yang begitu mendalam mengenai Brahman dan Atman, Maya dan penciptaan alam semesta, karma dan penjelmaan serta ajaran tentang moksa. Istilah Brahman untuk menyebut Tuhan dalam kitab-kitab Upanisad sangatlah populer. Brahman berasal dari akar kata “brh” yang artinya yang memberi hidup, menumbuhkan, menjadikan hidup, menjadikan berkembang, meluap (Pudja, 1983: 14). Penjelasan mengenai Brahman dapat kita lihat dalam Mandukya Upanisad, Enlightenment Withhout God, oleh Swami Rama: Kata Brahman berasal dari akar kata brha atau brhi yang berarti meluap, mengembang, pengetahuan atau yang meresapi segala. Kata ini selalu dalam jenis kelamin neutrum (banci), Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan berada diluar konsep jenis kelamin laki-laki (masculinum) dan wanita (femininum) dari segala sesuatu yang ersifat dualis. Brahman hadir di mana-mana, maha tahu, maha kuasa, itulah sifat dasar dari satu kebenaran Mutlak itu. Ia adalah kebenaran sejati, kesadaran tertinggi, yang tidak pernah dipengaruhi oleh perubahan sifat duniawi, adalah Brahman itu, Ia yang menjadikan diri-Nya sendiri dan memenuhi seluruh alam semesta untuk menampakkan diri-Nya sendiri itulah Brahman. Brahman itu tidak berbeda dari Sang diri, seluruh umat manusia hakikatnya adalah Brahman,. Berpangkal dari pandangan ini seluruh umat manusia pada hakikatnya adalah satu dan sama. Menempatkan pertentangan dan perbedaan terhadap seluruh umat manusia adalah suatu kerugian yang sangat besar dan mengejawantahkan kesatuan di dalam dan di luar akan mencapai tujuan tertinggi Ulasan-ulasan mengenai Brahman yang meresapi segala, ada dimana-mana, berwujud kebenaran tertinggi, maha mengetahui juga terdapat dalam upanisad-upanisad yang sangat banyak jumlahnya. Banyaknya uraian Brahman menunjukkan bahwa para Rsi, para bijaksana tidak pernah henti-hentinya merenungkan, mencari jawaban atas alam ini, yang menciptakan, yang memelihara dan kembalinya nanti hanyalah satu yaitu Brahman. Sebagaimana halnya dalam Weda, dalam Upanisad juga ditemukan berbagai sebutan untuk Tuhan (Brahman). Dalam Isa Upanisa Tuhan dipanggil Isa sebagai Yang Maha Esa, sedangkan dalam Aitareya Upanisad III. 1. 3 disebutkan: Segalanya diciptakan oleh Brahman, segalanya diatur oleh Indra. Prajapati Bapa semua makhluk, semua Dewa-dewa itu dan Panca Maha Bhuta, seperti tanah, udara ether, air dan cahaya, semua makhluk besar dan kecil dan salah satu dari benih-benih itu, dan yang lahir dari telur, yang alhir dari lendir, yang lahir melalui kandungan, dan tumbuh-tumbuhan yang meninggi karena biji,, kuda-kuda dan bunatang ternak, , manusia dan gajah-gajah, memang demikian, apa saja yang bernafas dan segalanya yang bergerak ini, dan segala sesuatu yang dapat terbang, dan yang tidak bergerak, dituntun oleh kebijaksanan-Nya dan mereka memiliki kekuatan kebijaksanaan itu. Kebijaksanaan itu yang memperhatikan dunia, Kebijaksanaan itu yang menjadi landasannya, Kebijaksanaan itu adalah Brahman Yang Abadi. Dengan demikian maka Brahman adalah nama Tuhan yang umum dalam Upanisad-upanisad. Brahman Bukan hanya maha ada, ada dalam semua tetapi semua yang ada, ada di dalam Brahman. C. TUHAN DALAM AGAMA HINDU DI INDONESIA (SIWA TATTWA) Agama Hindu yang berkembang di Indonesia, secara umum disebut ajaran Hindu Saiwa Sidhanta. Seperti dalam uraian di atas baik dalam Weda maupun upanisad Tuhan dipanggil dengan sebutan yang berbeda, di Nusantara juga ditemukan nama-nama Tuhan yang berbeda. Jika di India nama-nama Tuhan lebih dikenal sebagai Dewa yang merupakan sinar suci Sang Hyang Widhi, maka di Indonesia lebih populer dengan sebutan Bhatara. Istilah Bhatara berasal dari akar kata bhatr yang artinya pelindung. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan yang menjadi obyek pemujaan sebagai aspek pelindung, artinya keinginan rasa aman, nyaman sangat dibutuhkan bagi sebagian besar rakyat Nusantara. Karena itu segala yang melindungi disebut dengan Bhatara. Misalnya Bhatara Brahma lebih populer daripada Dewa Brahma, Bhatara Wisnu lebih populer dari Dewa Wisnu demikianlah nama Bhatara itu menjadi sangat umum dalam Lontar-lontar Tattwa, yang merupakan sumber ajaran Ketuhanan dalam Agama Hindu di Indonesia. Secara umum sebutan untuk Tuhan dalam masyarakat Indonesia adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Menurut Drs. I Gede Sura dan kawan-kawan Sang Hyang Widhi Wasa berarti Yang Menakdirkan Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang hyang Tuduh atau Sang hyang Titah. Namun istilah ini tidak secara tertulis disebutkan dalam sumber lontar. Dalam Sastra lontar yang sebagian besar bercorak Siwa yang ditemukan di Indonesia, Tuhan dipanggil dengan sebutan Bhatara Siwa. Dengan demikian maka agama Hindu di Indonesia secara umum memuja Bhatara Siwa sebagai Sang Hyang Widhi Wasa. Seperti halnya Weda maupun Upanisad maka ajaran Ketuhanan dalam Siwa Tattwa tidaklah berbeda, mengingat Weda sebagai Sumber tertinggi ajaran Dharma. Dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapati uraian tentang Tuhan yang senada dengan Weda maupun Upanisad: Sa Eko bhagawan sarwah Siva karana karanam, Aneko viditah sarwah Catur vidhasya karanam Ekatwanekatwa swalaksana Bhattara. Ekatwa ngaranya, kahidep maka laksana ng Siwatatwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira, Mangekalaksana Siwa karana juga, tan paprabedha. Aneka Ngaranya kahidepan bhattara maka laksana caturdha. Caturdha ngaranya laksananiran sthula, suksma, parasunya. Artinya: SifatBhatara adalah Eka dan aneka. Eka artinya Ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwa karana (Siwa sebagai Pencipta)tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat Caturdha artinya adalah stula suksma para sunya. Uraian yang demikian akan banyak kita jumpai dalam sumber-sumber Siwatattwa yang lain, yang pada akhirnya mengarahkan kita untuk menarik kesimpulan Tuhan Itu Satu. Tuhan yang satu ada dalam yang banyak, dan yang banyak ada dalam yang satu. Atau semua yang ada bersumber dari Tuhan, ada didalam Tuhan, diresapi oleh Tuhan. Nama Tuhan didasarkan pada sifat dan fungsi yang dilekatkan pada aspek kekuatan Brahman. Hal ini dapat kita jumpai dalam lontar Bhuwanakosa Patalah III sloka76: Brahmasrjayate lokam Visnuve palakastitam Rudratve samharasceva Tri murttih nama evaca Artinya: Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam mencipta dunia ini adalah: Brahma wujudNya waktu menciptadunia ini, Wisnu wujudNya waktu memelihara dunia ini, Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini, Demikianlah tiga wujudNya (Tri Murti) hanya beda nama. Dalam uraian diatas Bhatara Siwa sebagai Tri Murti, yang satu berwujud tiga sesuai dengan fungsinya. Bhatara Siwa adalah Brahma Wisnu dan Iswara, maka Brahma Wisnu dan Iswara adalah Bhatara Siwa. Yang satu berwujud tiga, maka yang tiga itu sesungguhnya satu. Dalam beberapa uraian Siwa Tattwa juga kita dapati ajaran yang menyatakan Tuhan bersifat Imanen dan transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana, transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia. Berikut kutipan slokanya: Sivas sarwagata suksmah Bhutanam antariksavat Acintya mahagrhyante Na indriyam parigrhyante Artinya: Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan, Ia seperti angkasa, tak terjangkau pikiran dan indriya. Dari kutipan sloka diatas disimpulkan bahwa Bhatara Siwa memiliki sifat meresapi segala, artinya Ia hadir pula dalam setiap pikiran manusia maupun indria, namun Ia tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, karena Ia mengatasi pikiran dan Indriya. Ia hadir dalam diri kita namun tidak kita ketahui karena keterbatasan manusia. Karena Ia hadir dan meresapi segala maka ia maha mengetahui, tidak ada satupun mahluk yang bisa lepas dari pengamatannya. Segala tindakan manusia, semut dan kuman bahkan daun yang jatuh sekalipun selalu ada dalam pengelihatannya. Ia ada pada semua yang ada, semua yang ada berada dalam diri-Nya.

Vasudewah sarwam iti

“ Vasudewa h  sarwam iti ” Persaudaraan Semesta Oleh : I Gede Adnyana, S.Ag Prakata Pemirsa yang berbahagia, berbagai kejadian...