Arsip Blog

Rabu, 25 Februari 2009

Kemenangan Dharma Dalam Selembar Daun Dadap

I Gede Adnyana, FDGAH Dunia Maya PESAN HARI GALUNGAN DARI SELEMBAR DAUN DADAP, MERUPAKAN SEBUAH INSPIRASI DALAM PENCARIAN MAKNA GALUNGAN & KUNINGAN DALAM MASYARAKAT MODERN. SEBUAH PENCARIAN TENTANG INTI DARI KEMENANGAN YANG TAK TERKALAHKAN, KEMENAGAN BATHIN YANG MENDALAM, SEBAGAI BENTENG KESADARAN DALAM JIWA YANG RAPUH DAN LUSUH OLEH GANASNYA ZAMAN KALIYUGA. Om Awignamastu Namasiddham, Tepung tawar merupakan salah stu sarana upacara dalam Agama Hindu yang berfungsi sebagai pembersih. Penggunaan tepung tawar dalam suatu upakara merupakan sebuah keharusan baik dalam manusa yadnya, dewa yadnya, bhuta yadnya, Rsi Yadnya maupun pitra yadnya. Karena demikian pentingnya unsure tepung tawar ini dalam setiap upacara keagamaan Hindu, maka Tradisi matepung (bertepung) tawar sejak zaman dahulu telah menjadi tradisi Nusantara yang berlangsung bahkan mungkin sebelum kedatangan Hindu di Nusantara. Hal ini terbukti dengan masih lestarinya upacara tepung tawar ini diberbagai daerah seperti Aceh, Medan, Riau, Lampung, Kalimatan, Nusa Tenggara apalabi Bali. Secara umum mereka melaksanakan adat tepung tawar ini untuk perkawinan maupun ada bencana. Bahkan di Nusa Tenggara upacara tepung tawar digunakan untuk mendamaikan dua desa yang sedang berselisih. Di Bali tepung tawar menjadi salahsatu komponen dalam upacara agama Hindu, bahkan hingga saat ini seluruh umat Hindu menggunakan tepung tawar terutama dalam banten untuk panca yadnya. Jika dilihat dari bahan tepung tawar ditiap-tiap daerah umumnya berbeda-beda, namun tujuannya sama yaitu berfungsi sebagai pembersih dan menolak bala. Bahan tepung tawar ada yang manggunakan beras dicampur kunyit, dedaunan seperti sirih, jeruk, dan sebagainya. Dalam upacara agama Hindu Bahan tepung tawar adalah berupa beras yang direndam dtumbuk halus bersama daun dadab. Pada umumnya tepung tawar ini ditempatkan pada pesucian atau penyeneng, bersama dengan segau, kekosok, sesarik dan benang tukelan (benang dari kapas asli). Jika dilihat semua bahan itu berfungsi sebagai pembersih. Mengapa daun dadap dipilih sebagai bahan tepung tawar? Daun dadap adalah sejenis tanaman atau tumbuhan berupa pohon. Batang ada yang berduri dan ada yang halus. Daun tiga bersatu dan berbentuk belah ketupat. Secara tradisional daun dadap berguna untuk mengobati beberapa penyakit Bagian yang Digunakan Daun dan kulit kayu. Nama Latin Erythrinae Folium; nama local Daun Dadap Serep. Daun dadap memiliki kegunaan mengatasi demam, pelancar ASI, sariawan perut, mencegah keguguran (obat luar), nifas (obat luar), perdarahan bagian dalam (obat luar), sakit perut (obat luar). Kulit kayuberguna untuk : Batuk, Sariawan perut. Daun dadap disebut juga kayu sakti, hal ini mungkin sekali terkait karena kegunaannya. Disamping itu ada cerita tantric yang berkembang yaitu tentang ikan gabus yang melakukan tapa dibawah pohon dadap. Karena ketekunannya akhirnya permohonannya dikabulkan oleh Hyang Widdhi. Maka segeralah ikan gabus ini menjelma menjadi seekor trenggiling yang hidupnya didarat. Jika dikupas secara seksama maka ada tiga komponen penting dalam cerita tadi yaitu telaga atau kolam, ikan gabus, pohon dadap, dan klesih atau trenggiling. Telaga adalah lambang dunia ini, ikan gabus mewakili sifat rajas dan tamas, dimana kita ketahui bersama bahwa ikan gabus sangat rakus makannya, karena itu ia tergolong predator. Pohon dadab tempatnya bertapa mengandung makna hati-hati atau waspada, artinya waspada terhadap sifat-sifat buas dan selalu eling. Klesih adalah gambaran manusia yang telah mencapai pencerahan, ia tidak lagi rakus seperti ikan gabus, kemanapun pergi selalu meninggalkan suara atau pesan dharma. Apabila ada bahaya ia menggulung badannya sendiri seperti bola, hal ini bermakna introspeksi diri atau melakukan koreksi kedalam diri. Sedangkan istilah tepung tawar bermakna bahwa segala yang bersifat negative, hanya bisa ditawarkan atau dinetralkan, bukan dihapuskan. Baik dan buruk merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan ini, namun sebagai manusia kita bisa merubah sifat buruk kita menjadi lebih baik. Tepung sendiri berasal dari buah padi, padi lambang Dewi Sri, dewi kemakmuran , buah itu Phala, jadi harus ada niat menjaga agar alam ini selalu lestari kesuburannya, membawa kemamkmuran bagi setiap insan. Hal ini tentu merupakan tugas yang cukup berat bagi kita agar mampu melani Tuhan dengan melayani umatn-Nya (Madawa sewa Manawa Sewa) Dengan demikian maka yang diharapkan dari upacara tepung tawar itu adalah meruwat, mengubah dari sifat yang kurang baik menjadi lebih baik. Inilah yang harus selalu diusahakan oleh setiap orang agar selama hidupnya didunia ini selalu mengalami perubahan kearah kemajuan, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan rohani, atau gelar urip dan gelar patinya hendaknya seimbang. Jika demikian maka kemenangan Dharma tidak lagi hanya menjadi slogan tetapi menang dalam arti sebenarnya, yaitu mengalahkan hawa nafsu dalam diri. Om Santih, santih, santih Om

Minggu, 15 Februari 2009

PEMBINAAN BERBASIS BUDAYA

PEMBINAAN BERBASIS BUDAYA UNTUK UMAT HINDU DAYAK PASER OLEH : I GEDE ADNYANA, S.Ag A. HINDU BUKAN PENGHANCUR BUDAYA Seperti aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun, memberikan kesuburan pada lembah-lembah yang dilaluinya, demikianlah Hindu mengalir, menyuburkan budaya-budaya yang ada. Sebagai agama yang tertua Hindu sangat toleran dengan berbagai budaya yang berkembang dimasyarakat. Hal ini bukanlah suatu slogan semata, tetapi sudah merupakan ciri khas Hindu yang mengedepankan pemanfaatan budaya lokal sebagai jalan penyebarannya. Budaya menjadi begitu penting karena ia mengandung satyam, siwam & sundaram. Setiap budaya atau tradisi selalu tercipta sebagai suatu wadah bersama yang mengandung unsur-unsur kebenaran (satyam) yang memudahkan hidup, kesucian (siwam) yang mengarahkaan hidup dan keindahan (sundaram) yang mengahluskan hidup. Selama ketiga unsur ini ada maka suatu budaya akan tetap bertahan. Hindu bahkan menyuburkan budaya lokal dengan memberikan jiwa pada budaya yang telah berkembang dimasyarakat. Jika kita perhatikan umat Hindu etnis Bali, Jawa, Dayak, Toraja, Batak, Irian, Maluku, Nusa Tenggara, dan seterusnya, mereka memiliki keragaman budaya yang berbeda namun didalamnya tersimpan ajaran Hindu yang adi luhung. Hanya saja unsur ke-Hinduan dari budaya lokal ini sudah mulai terkikis, akibat pengaruh perkembangan zaman. Penggilasan budaya oleh agama baru justru kerap menjadi biang keladi gersangnya budaya lokal saat ini. Kareana itu kegiatan-kegiatan seperti pesta adat saat ini pada umumnya baru akan terlaksana jika ada dukungan dari pemerintah daerah, karena masyarakatnya tidak lagi merasa memiliki. Ini umumnya terjadi pada msyarakat yang sedang mengalami transisi dari tradisional ke masyarakat modrn. Tidak seharusnya agama Hindu turut ambil bagian dalam pengahapusan budaya lokal, tetapi justru seharusnya menjadi motor dalam pelestariannya. Kedekatan Hindu dengan budaya lokal harus dibangkitkan lagi, khususnya untuk Hindu yang ada di luar Bali. Untuk pembuatan Pura misalnya dominasi ukiran Bali masih menjadi salah satu kendala penyebaran Hindu diluar daerah. Ketika seseorang dari Bali melakukan Tirta Yatra ke Pura Payogan Agung Kutai, dengan begitu semangatnya ingin melihat bentuk Pura yang tidak sama dengan Bali ternyata mereka kecewa, setelah mendapati Pura yang dikunjunginya sama dengan model Pura yang ada di Bali. B. BUDAYA DAYAK DENGAN NUANSA HINDU Umat hindu etnis Dayak yang bermukim di Desa Tanjung Pinang, Kec. Muara Samu, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur, merupakan salah satu kantong Hindu yang perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari pihak Parisada Kabupaten, Propinsi dan Pusat, maupun pemerintah dalam hal ini Dep. Agama khususnya Bimas Hindu. Dengan lokasi yang agak jauh dipedalaman merupakan salah satu kendala minimnya intensitas pembinaan umat didaerah ini. Namun demikian hendaknya ini kita semua berusaha mencari jalan terbaik. Dalam kunjungan Bimas Hindu Kaltim yang dipimpin langsung Pembimas Hindu Kaltim Bapak Drs. A.A. Raka Ardita, misalnya telah disampaikan bantuan baik berupa Punia dalam bentuk materi, tapi juga menyalurkan bantuan buku-buku agama Hindu. Namun hal ini tentu tidak akan berarti banyak apabila umat Hindu etnis Dayak Paser ini tidak memperoleh pembinaan berkelanjutan dan terencana. Berkelanjutan artinya ada kesinambungan dalam pembinaannya yang jauh kedepan, terencana artinya harus menentukan skala prioritas dalam pembinaannya. Hal ini cukup beralasan karena melihat kondisi umat yang tinggal lebih kurang 30 kk atau 100 jiwa ini semakin terjepit karena seringya misionaris menawarkan agama mereka. Dalam odalan Pura Wana Dharma yang jatuh pada purnama Kaulu baru-baru ini terkesan sekali bahwa adanya rasa kurang memiliki dari umat Hindu setempat, karena memang nuansa odalannya adalah nuansa Bali. Terlebih lagi warga setempat tidak lagi menggunakan pakaian adat mereka, Tradisi kidungnya juga sudah hilang, namun beberapa upakaranya masih dapat kita temukan, seperti hiasan janurnya, sarana memercikan tirtanya yang khas. Menurut Yadianto Ketua PHDI Desa Tanjung Pinang, Warga setempat memiliki tradisi Baherin atau upacara untuk Dewi Sri yang dirayakan setiap tahun setelah panen, dan baru dilaksakan apabila ada kaul dari masyarakat. Hal ini dibenarkan oleh Butter (Guru Agama Hindu) bahwa upacara Baherin biasanya dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli semasa sehabis panen. Salah satu hal yang menarik dari upacara Baherin ini menurut Bapak Mangku Misun adalah setelah masa panen padi yang baru dipanen belum boleh dimakan apabila upacaranya belum dilakukan. Hal ini ditujukan untuk memhon anugrah Dari Dewi Sri sebagai Dewi padi. Di Pura ini juga terdapat peninggalan dari leluhur mereka yang berupa "Batu Nayu", dengan bentuk menyerupai nekara (dandang), hanya saja jika umumnya nekara terbuat dari perunggu, maka Batu Nayu berbahan Batu alam. Konon menurut Pak Hendi, yang merupakan pewaris langsung Batu ini, menyatakan bahwa Batu ini adalah sarana untuk memohon keselamatan kepada Sang Hyang Batara (sebutan Hyang Widdhi warga setempat). Semenjak batu ini ditemukan seluruh masyarakat etnis dayak Tanjung Pinang selamat dari gerombolan yang dulunya sering mengancam. C. LANGKAH PEMBINAAN KEDEPAN Mengingat bahwa umat setempat telah memiliki budaya yang benuansa Hindu, maka seharusnya Hindu tidaklah sulit berkembang ditempat ini. Konsep penyuburang budaya oleh Weda sebagaimana sifat dari Hindu yang bagaikan aliran sungai hendaknya benar-benar dimanfaatkan melalui beberapa tahapan. Langkah pertama adalah melalui pendekatan theologi dimana umat telah memilki nama Tuhan yang akrab denga panggilan Sang Hyang Bhatara, dan dewi yang di puja adalah Dewi Sri. Maka piodalan yang tadinya jatuh pada sasih kawulu (musim penghujan) bisa dipindah ke sasih Jyesta, Kasa, atau Karo yang bertepatan dengan berakhirnya musim panen, sekitar Bulan Juni. Pesta adat yang biasanya dipusatkan dirumah-rumah hendaknya bisa dipusatkan di Pura. Langkah ke-dua adalah pembenahan tempat Suci, mengingat Ista Dewata yang dipuja adalah Dewi Sri, yang merupakan maka diareal pura dapat pula ditambah bangunan berupa lumbung atau Lamin untuk Stana Dewi Sri. Karena kegiatan ini pada umumnya diikuti oleh seluruh Warga etnis Dayak juga yang non Hindu, maka siapa saja yang boleh mengikuti. Ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi warga sekitar yang masih melaksanakan adat Baherin. Bangunan Pura harus mengadopsi Budaya Dayak sebagai ornamen utama, misalnya patung dayak untuk dwara phala, ukiran dayak untuk pagar, Lamin atau Balai untuk Dewi Sri dan Batu Nayu. Langkah ke-tiga adalah pemberdayaan upakara dan upacara yang mengedepakan budaya Dayak. Misalnya menggali kembali bentuk-bentuk benten yang pernah ada, melatih kidung Dayak yang sudah terlupakan dan pelestarian kesenian sebagai salah satu pendukung semaraknya upacara, misalnya tari Gintur sebagai tarian menyambut Dewi Sri. Demikian pula upacara Belian untuk meruwat Desa agar bebas dari Bala juga harus dipertahankan. Langkah ke-empat adalah pemberdayaan umat, melalui pendidikan dan perbaikan ekonomi. Langkah ini dapat terwujud apabila masyarakat telah kembali keakar budaya mereka. Warga Pampang misalnya yang menjadi pusat wisata Budaya Dayak di Kaltim saat ini, menjadi begitu terkenal sehingga banyak wisatawan berkunjung kesana, padahal mereka memisahkan antara agama dan budaya, karena tidak lagi beragama Hindu. Jika hal ini terwujud maka umat akan memperoleh perhatian Pemda Paser, dimana Desa Tanjung Pinang dapat dijadikan salah satu desa Wisata. Daerah ini juga potensi untuk pengembangan ternak khususnya sapi yang memilki nilai ekonmis tinggi. Ketersediaan rumput yang cukup banyak merupakan modal utama di tempat ini. Demikian pula perkebunan karet dan sawit yang menjadi komoditas dareah Kaltim dapat dikembangkan. Pengadaan ternak Sapi misalnya dapat melalui bantuan modal secara bergilir, dengan pemberdayaan koperasi Serba Usaha. Dalam bidang pendidikan juga harus menjadi prioritas utama sebab majunya suatu bangsa dapat dilihat dari pendidikannya. Pendidikan agama berbasis Pasraman merupakan kunci pendidikan Agama Hindu saat ini. Karena itu dalam kesempatan libur sekolah agara dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pasraman terutama bagi geberasi Muda Hindu. Bersyukur bahwa ketika tulisan Mangku VS Missionaris dimuat dimedia Hindu, beberapa tokoh Umat Hindu di Kota Bontang memiliki niat membantu perkuliahan bagi umat Hindu etnis Dayak yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Jurusan Agam Hindu. Dan dalam kesempatan kunjungan bersama rombongan Bimas Kaltim telah menyampaikan hal tersebut, dan langsung direspon dengan positif oleh Warga setempat. Hal ini tentu merupakan sebuah angin segar bagi pembinaan Umat Hindu Dayak Paser kedepan. Namun semuanya kembali pada Masyarakat Hindu Dayak Paser, Tokoh-tokoh Hindu, maupun lembaga umat hindu terkait. Saran dan masukan pembinaan kedepan dapat melalui e-mail: g.adnyana@yahoo.co.id, Blog: www.vaprakeswara.blogspot.com. Om Santih, Santih, Santih OM

Vasudewah sarwam iti

“ Vasudewa h  sarwam iti ” Persaudaraan Semesta Oleh : I Gede Adnyana, S.Ag Prakata Pemirsa yang berbahagia, berbagai kejadian...