Arsip Blog

Minggu, 15 Februari 2009

PEMBINAAN BERBASIS BUDAYA

PEMBINAAN BERBASIS BUDAYA UNTUK UMAT HINDU DAYAK PASER OLEH : I GEDE ADNYANA, S.Ag A. HINDU BUKAN PENGHANCUR BUDAYA Seperti aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun, memberikan kesuburan pada lembah-lembah yang dilaluinya, demikianlah Hindu mengalir, menyuburkan budaya-budaya yang ada. Sebagai agama yang tertua Hindu sangat toleran dengan berbagai budaya yang berkembang dimasyarakat. Hal ini bukanlah suatu slogan semata, tetapi sudah merupakan ciri khas Hindu yang mengedepankan pemanfaatan budaya lokal sebagai jalan penyebarannya. Budaya menjadi begitu penting karena ia mengandung satyam, siwam & sundaram. Setiap budaya atau tradisi selalu tercipta sebagai suatu wadah bersama yang mengandung unsur-unsur kebenaran (satyam) yang memudahkan hidup, kesucian (siwam) yang mengarahkaan hidup dan keindahan (sundaram) yang mengahluskan hidup. Selama ketiga unsur ini ada maka suatu budaya akan tetap bertahan. Hindu bahkan menyuburkan budaya lokal dengan memberikan jiwa pada budaya yang telah berkembang dimasyarakat. Jika kita perhatikan umat Hindu etnis Bali, Jawa, Dayak, Toraja, Batak, Irian, Maluku, Nusa Tenggara, dan seterusnya, mereka memiliki keragaman budaya yang berbeda namun didalamnya tersimpan ajaran Hindu yang adi luhung. Hanya saja unsur ke-Hinduan dari budaya lokal ini sudah mulai terkikis, akibat pengaruh perkembangan zaman. Penggilasan budaya oleh agama baru justru kerap menjadi biang keladi gersangnya budaya lokal saat ini. Kareana itu kegiatan-kegiatan seperti pesta adat saat ini pada umumnya baru akan terlaksana jika ada dukungan dari pemerintah daerah, karena masyarakatnya tidak lagi merasa memiliki. Ini umumnya terjadi pada msyarakat yang sedang mengalami transisi dari tradisional ke masyarakat modrn. Tidak seharusnya agama Hindu turut ambil bagian dalam pengahapusan budaya lokal, tetapi justru seharusnya menjadi motor dalam pelestariannya. Kedekatan Hindu dengan budaya lokal harus dibangkitkan lagi, khususnya untuk Hindu yang ada di luar Bali. Untuk pembuatan Pura misalnya dominasi ukiran Bali masih menjadi salah satu kendala penyebaran Hindu diluar daerah. Ketika seseorang dari Bali melakukan Tirta Yatra ke Pura Payogan Agung Kutai, dengan begitu semangatnya ingin melihat bentuk Pura yang tidak sama dengan Bali ternyata mereka kecewa, setelah mendapati Pura yang dikunjunginya sama dengan model Pura yang ada di Bali. B. BUDAYA DAYAK DENGAN NUANSA HINDU Umat hindu etnis Dayak yang bermukim di Desa Tanjung Pinang, Kec. Muara Samu, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur, merupakan salah satu kantong Hindu yang perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari pihak Parisada Kabupaten, Propinsi dan Pusat, maupun pemerintah dalam hal ini Dep. Agama khususnya Bimas Hindu. Dengan lokasi yang agak jauh dipedalaman merupakan salah satu kendala minimnya intensitas pembinaan umat didaerah ini. Namun demikian hendaknya ini kita semua berusaha mencari jalan terbaik. Dalam kunjungan Bimas Hindu Kaltim yang dipimpin langsung Pembimas Hindu Kaltim Bapak Drs. A.A. Raka Ardita, misalnya telah disampaikan bantuan baik berupa Punia dalam bentuk materi, tapi juga menyalurkan bantuan buku-buku agama Hindu. Namun hal ini tentu tidak akan berarti banyak apabila umat Hindu etnis Dayak Paser ini tidak memperoleh pembinaan berkelanjutan dan terencana. Berkelanjutan artinya ada kesinambungan dalam pembinaannya yang jauh kedepan, terencana artinya harus menentukan skala prioritas dalam pembinaannya. Hal ini cukup beralasan karena melihat kondisi umat yang tinggal lebih kurang 30 kk atau 100 jiwa ini semakin terjepit karena seringya misionaris menawarkan agama mereka. Dalam odalan Pura Wana Dharma yang jatuh pada purnama Kaulu baru-baru ini terkesan sekali bahwa adanya rasa kurang memiliki dari umat Hindu setempat, karena memang nuansa odalannya adalah nuansa Bali. Terlebih lagi warga setempat tidak lagi menggunakan pakaian adat mereka, Tradisi kidungnya juga sudah hilang, namun beberapa upakaranya masih dapat kita temukan, seperti hiasan janurnya, sarana memercikan tirtanya yang khas. Menurut Yadianto Ketua PHDI Desa Tanjung Pinang, Warga setempat memiliki tradisi Baherin atau upacara untuk Dewi Sri yang dirayakan setiap tahun setelah panen, dan baru dilaksakan apabila ada kaul dari masyarakat. Hal ini dibenarkan oleh Butter (Guru Agama Hindu) bahwa upacara Baherin biasanya dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli semasa sehabis panen. Salah satu hal yang menarik dari upacara Baherin ini menurut Bapak Mangku Misun adalah setelah masa panen padi yang baru dipanen belum boleh dimakan apabila upacaranya belum dilakukan. Hal ini ditujukan untuk memhon anugrah Dari Dewi Sri sebagai Dewi padi. Di Pura ini juga terdapat peninggalan dari leluhur mereka yang berupa "Batu Nayu", dengan bentuk menyerupai nekara (dandang), hanya saja jika umumnya nekara terbuat dari perunggu, maka Batu Nayu berbahan Batu alam. Konon menurut Pak Hendi, yang merupakan pewaris langsung Batu ini, menyatakan bahwa Batu ini adalah sarana untuk memohon keselamatan kepada Sang Hyang Batara (sebutan Hyang Widdhi warga setempat). Semenjak batu ini ditemukan seluruh masyarakat etnis dayak Tanjung Pinang selamat dari gerombolan yang dulunya sering mengancam. C. LANGKAH PEMBINAAN KEDEPAN Mengingat bahwa umat setempat telah memiliki budaya yang benuansa Hindu, maka seharusnya Hindu tidaklah sulit berkembang ditempat ini. Konsep penyuburang budaya oleh Weda sebagaimana sifat dari Hindu yang bagaikan aliran sungai hendaknya benar-benar dimanfaatkan melalui beberapa tahapan. Langkah pertama adalah melalui pendekatan theologi dimana umat telah memilki nama Tuhan yang akrab denga panggilan Sang Hyang Bhatara, dan dewi yang di puja adalah Dewi Sri. Maka piodalan yang tadinya jatuh pada sasih kawulu (musim penghujan) bisa dipindah ke sasih Jyesta, Kasa, atau Karo yang bertepatan dengan berakhirnya musim panen, sekitar Bulan Juni. Pesta adat yang biasanya dipusatkan dirumah-rumah hendaknya bisa dipusatkan di Pura. Langkah ke-dua adalah pembenahan tempat Suci, mengingat Ista Dewata yang dipuja adalah Dewi Sri, yang merupakan maka diareal pura dapat pula ditambah bangunan berupa lumbung atau Lamin untuk Stana Dewi Sri. Karena kegiatan ini pada umumnya diikuti oleh seluruh Warga etnis Dayak juga yang non Hindu, maka siapa saja yang boleh mengikuti. Ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi warga sekitar yang masih melaksanakan adat Baherin. Bangunan Pura harus mengadopsi Budaya Dayak sebagai ornamen utama, misalnya patung dayak untuk dwara phala, ukiran dayak untuk pagar, Lamin atau Balai untuk Dewi Sri dan Batu Nayu. Langkah ke-tiga adalah pemberdayaan upakara dan upacara yang mengedepakan budaya Dayak. Misalnya menggali kembali bentuk-bentuk benten yang pernah ada, melatih kidung Dayak yang sudah terlupakan dan pelestarian kesenian sebagai salah satu pendukung semaraknya upacara, misalnya tari Gintur sebagai tarian menyambut Dewi Sri. Demikian pula upacara Belian untuk meruwat Desa agar bebas dari Bala juga harus dipertahankan. Langkah ke-empat adalah pemberdayaan umat, melalui pendidikan dan perbaikan ekonomi. Langkah ini dapat terwujud apabila masyarakat telah kembali keakar budaya mereka. Warga Pampang misalnya yang menjadi pusat wisata Budaya Dayak di Kaltim saat ini, menjadi begitu terkenal sehingga banyak wisatawan berkunjung kesana, padahal mereka memisahkan antara agama dan budaya, karena tidak lagi beragama Hindu. Jika hal ini terwujud maka umat akan memperoleh perhatian Pemda Paser, dimana Desa Tanjung Pinang dapat dijadikan salah satu desa Wisata. Daerah ini juga potensi untuk pengembangan ternak khususnya sapi yang memilki nilai ekonmis tinggi. Ketersediaan rumput yang cukup banyak merupakan modal utama di tempat ini. Demikian pula perkebunan karet dan sawit yang menjadi komoditas dareah Kaltim dapat dikembangkan. Pengadaan ternak Sapi misalnya dapat melalui bantuan modal secara bergilir, dengan pemberdayaan koperasi Serba Usaha. Dalam bidang pendidikan juga harus menjadi prioritas utama sebab majunya suatu bangsa dapat dilihat dari pendidikannya. Pendidikan agama berbasis Pasraman merupakan kunci pendidikan Agama Hindu saat ini. Karena itu dalam kesempatan libur sekolah agara dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pasraman terutama bagi geberasi Muda Hindu. Bersyukur bahwa ketika tulisan Mangku VS Missionaris dimuat dimedia Hindu, beberapa tokoh Umat Hindu di Kota Bontang memiliki niat membantu perkuliahan bagi umat Hindu etnis Dayak yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Jurusan Agam Hindu. Dan dalam kesempatan kunjungan bersama rombongan Bimas Kaltim telah menyampaikan hal tersebut, dan langsung direspon dengan positif oleh Warga setempat. Hal ini tentu merupakan sebuah angin segar bagi pembinaan Umat Hindu Dayak Paser kedepan. Namun semuanya kembali pada Masyarakat Hindu Dayak Paser, Tokoh-tokoh Hindu, maupun lembaga umat hindu terkait. Saran dan masukan pembinaan kedepan dapat melalui e-mail: g.adnyana@yahoo.co.id, Blog: www.vaprakeswara.blogspot.com. Om Santih, Santih, Santih OM

3 komentar:

dasanrangarajan mengatakan...

saya sangat setuju bila pengembangan Hindu harus sesuai dengan kondisi masyarakat tempatnya bertumbuh. Hindu harus datang di sana sebagai pelindung kekayaan budaya asli mereka yang tak ternilai harganya, sambil memberikan bantuan untuk meningkatkan keinsafan rohaninya sesuai ajaran Veda.
Anda bisa baca pendapat saya tentang hal ini di http://dharmadvar.blogspot.com/2009/04/sekte-sekte-dalam-hindu-2.html dan http://dharmadvar.blogspot.com/2009/04/siapa-yang-disebut-hindu-1.html
Terimakasih Om santih

Software Bali mengatakan...

Salam kenal

menarik sekali pencerahannya.

kami online via

www.software-pendidikan.com

Unknown mengatakan...

df

Vasudewah sarwam iti

“ Vasudewa h  sarwam iti ” Persaudaraan Semesta Oleh : I Gede Adnyana, S.Ag Prakata Pemirsa yang berbahagia, berbagai kejadian...