Arsip Blog

Senin, 10 November 2008

I Gede Adnyana, FDGAH Dunia Maya THEOLOGI HINDU I. PENDAHULUAN Agama merupakan ajaran yang bersumber dari penguasa Agung alam semesta, sebagai awal, tengah dan akhir dari sarwabhawa (segala yang ada). Ia sangat sempurna, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa awal, tengah, dan akhir. Bagaimanapun kita memikirkan-Nya sangatlah tidak mungkin membayangkan Ia yang Maha sempurna dengan pikiran yang sangat terbatas. Lalu bagaimanakah cara Hindu mengenal siapa yang disembahnya? Sebelum memasuki materi Siwa Tattwa perlu dipahami pola pikir yang akan mengantarkan kita belajar Hindu secara benar. Menurut Drs. I Gede Sura, sedikitnya ada tiga pola pikir: 1. Pola pikir Ilmiah yaitu pola pikir yang didasarkan pada proses ilmiah atau dikenal juga dengan kebenaran keilmuan. Pola pikir ini sangat berguna dalam penelitian-penelitian ilmu pengetahuan yang lebih mengedepankan logika. Orang yang berhasil menerapkan pola pikir ini dikenal dengan ilmuan. Misalnya Einstein, Thomas Alpha Edison, dsb. 2. Pola pikir Filsafat, didasarkan pada renungan secara mendalam oleh manusia sehingga kebenaran yang diperoleh adalah kebenaran filsafati, sedangkan sang perenung yang memperoleh jawaban atas pokok persoalan yang dipecahkan disebut Filosof atau filsuf. Misalnya: Plato, Aristoteles, dsb. 3. Pola pikir Agama yang bersumber dari keyakinan. Karena bersumber dari keyakinan maka pola pikir agama lebih mengutamakan rasa. Pola pikir agama sangat dipengaruhi oleh ajaran dari masing-masing agama, karena itu agama yang berbeda memiliki pola pikir yang berbeda pula. Pola pikir Agama Hindu akan berbeda dengan pola pikir Islam, Kristen, Katolik maupun Buddha. Untuk memperoleh cara berfikir yang sistematis, seseorang harus memilah-milah sendiri dalam pikirannya apakah ini agama, apakah ini filsafat ataukan ilmiah. Namun dalam kenyatannya terkadang ada kaitan antara satu pola pikir dengan pola pikir yang lain, yang mana hal ini akan menimbulkan kerancuan apabila tidak didasari oleh Wiweka. Campur aduk pola pikir agama-agama sangat sering terjadi sehingga terkesan adanya pemaksaan atau penjajahan oleh satu agama terhadap agama yang lain. A. Tuhan Dalam Weda Didalam Veda kita bisa melihat begitu banyak nama Dewa yang seringkali bahkan tidak kita temukan pemujaannya dewasa ini. Dewa berasal dari kata Dev yang artinya sinar, Dewa dalam hal ini merupakan sinar suci dari Sang Hyang Widhi Wasa. Jumlah Dewa-Dewa dalam Reg Weda I. 139. 11 disebutkan ada 33: Ye dewaso divy ekadasa stha prthivyam adhy ekadasa stha, apsuksito mahinaikadasa stha te devaso yajnyamimam jusadhvam. Artinya: Wahai para Dewa (33 Dewa), sebelas di sorga, sebelas di bumi, dan sebelas di langit, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini. Sedangkan dalam Reg Weda III. 9.9 bukan hanya 33 Dewa melainkan ada 3339 Dewa, dan diantara semua Dewa Reg Weda menggambarkan Surya sebagai Dewa tertinggi. Hal ini ditegaskan dalam Reg Veda I.50.10: Udvayam tamasaspari jyotis pasyanta uttaram, Devam devatra suryamaganma jyotiruttamam. Artinya: Lihatlah menjulang tinggi di angkasa, cahaya yang terang benderang mengatasi kegelapan telah datang, Ia adalah Surya, Dewa dari seluruh Dewata, cahaya-Nya yang terang itu betapa indahnya. Weda sebagai sumber pertama dan utama memuat begitu banyak Dewa, yang dihubungkan dengan wilayah atau lingkungan, bahkan aktivitas dan sifatnya. Agni berhubungan dengan bumi, angkasa dengan Vayu dan Indra sebagai Dewatanya, surga dengan surya sebagai dewatanya. Semua Dewa-Dewa merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Tunggal, hal ini diuraikan dalam Reg Weda Mandala I Sukta 164 Mantra ke-46 yangmenyebutkan: Indram Mitram Varuna Agni ahur atho divyah sasuparno garutman, Ekam sad vipra bahudha vadhantyagnim yamam matarisvanam ahuh. Artinya: Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan dia yang bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok. Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan. Dalam komentarnya tentang Dewa-Dewa Drs. I Gede Sura memberikan kesimpulan yang sangat kuat yang dapat dijadikan kesimpulan. Dewa merupakan perwujudan Sang Hyang Widhi Wasa atau manifestasi dari Yang Maha Tunggal. Demikian pula salah seorang Yogin dari India Sri Aurobindo memaparkan tentang nama Dewa dengan tafsiran yang menkajubkan; Agni berarti Tuhan yang Maha Mengetahui dan yang sangat dimuliakan; Indra berarti Tuhan Yang Maha Cemerlang; Soma sebagai tuhan yang layak kita cintai, dan kita abdi; Varuna adalah Tuhan Yang Maha Adil, Maha Mulia; Savita, Tuhan Sang Pencipta; Visnu, Tuhan Maha Ada; Pusan, Tuhan sebagai pemelihara; dan Marut adalah nafas vital. Melalui kutipan diatas dapat kita simpulkan bahwa nama-nama Dewa sangat populer pada Jaman Weda yang dikaitkan dengan alam pengalaman manusia. Dewa yang berbeda dipandang memiliki fungsi yang berbeda, namun semuanya adalah perwujudan dari Yang Esa. Dengan demikian maka ajaran Ketuhanan dalam Veda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun ia meliputi segala mempunyai banyak nama. Ia yang esa berada pada semua yang ada dan semua yang ada berada pada yang Esa. B. TUHAN DALAM UPANISAD Upanisad artinya duduk di dekat guru untuk mendengarkan ajaran. Cara belajar Upanisad banyak dilakukan diasrama-asrama dalam hutan-hutan (aranya) sehingga kitab upanisad sering disebut juga Kitab Aranyaka. Lahirnya kitab Upanisad merupakan babak baru bagi perkembangan Agama Hindu di India, yaitu peralihan dari Zaman Brahmana yang lebih mengutamakan Yajnya sebagai jalan mendekatkan diri Kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Secara tradisi kita mengenal 108 kitab Upanisad yang merupakan ulasan-ulasan dari guru yang berbeda misalnya: Isa upanisad, Chandogya Upanisad, Brhadaranyaka Upanisad, Kena Upanisad, Svetasvatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan sebagainya. Yang sangat menakjubkan dalam kitab Upanisad adalah ulasan-ulasan yang begitu mendalam mengenai Brahman dan Atman, Maya dan penciptaan alam semesta, karma dan penjelmaan serta ajaran tentang moksa. Istilah Brahman untuk menyebut Tuhan dalam kitab-kitab Upanisad sangatlah populer. Brahman berasal dari akar kata “brh” yang artinya yang memberi hidup, menumbuhkan, menjadikan hidup, menjadikan berkembang, meluap (Pudja, 1983: 14). Penjelasan mengenai Brahman dapat kita lihat dalam Mandukya Upanisad, Enlightenment Withhout God, oleh Swami Rama: Kata Brahman berasal dari akar kata brha atau brhi yang berarti meluap, mengembang, pengetahuan atau yang meresapi segala. Kata ini selalu dalam jenis kelamin neutrum (banci), Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan berada diluar konsep jenis kelamin laki-laki (masculinum) dan wanita (femininum) dari segala sesuatu yang ersifat dualis. Brahman hadir di mana-mana, maha tahu, maha kuasa, itulah sifat dasar dari satu kebenaran Mutlak itu. Ia adalah kebenaran sejati, kesadaran tertinggi, yang tidak pernah dipengaruhi oleh perubahan sifat duniawi, adalah Brahman itu, Ia yang menjadikan diri-Nya sendiri dan memenuhi seluruh alam semesta untuk menampakkan diri-Nya sendiri itulah Brahman. Brahman itu tidak berbeda dari Sang diri, seluruh umat manusia hakikatnya adalah Brahman,. Berpangkal dari pandangan ini seluruh umat manusia pada hakikatnya adalah satu dan sama. Menempatkan pertentangan dan perbedaan terhadap seluruh umat manusia adalah suatu kerugian yang sangat besar dan mengejawantahkan kesatuan di dalam dan di luar akan mencapai tujuan tertinggi Ulasan-ulasan mengenai Brahman yang meresapi segala, ada dimana-mana, berwujud kebenaran tertinggi, maha mengetahui juga terdapat dalam upanisad-upanisad yang sangat banyak jumlahnya. Banyaknya uraian Brahman menunjukkan bahwa para Rsi, para bijaksana tidak pernah henti-hentinya merenungkan, mencari jawaban atas alam ini, yang menciptakan, yang memelihara dan kembalinya nanti hanyalah satu yaitu Brahman. Sebagaimana halnya dalam Weda, dalam Upanisad juga ditemukan berbagai sebutan untuk Tuhan (Brahman). Dalam Isa Upanisa Tuhan dipanggil Isa sebagai Yang Maha Esa, sedangkan dalam Aitareya Upanisad III. 1. 3 disebutkan: Segalanya diciptakan oleh Brahman, segalanya diatur oleh Indra. Prajapati Bapa semua makhluk, semua Dewa-dewa itu dan Panca Maha Bhuta, seperti tanah, udara ether, air dan cahaya, semua makhluk besar dan kecil dan salah satu dari benih-benih itu, dan yang lahir dari telur, yang alhir dari lendir, yang lahir melalui kandungan, dan tumbuh-tumbuhan yang meninggi karena biji,, kuda-kuda dan bunatang ternak, , manusia dan gajah-gajah, memang demikian, apa saja yang bernafas dan segalanya yang bergerak ini, dan segala sesuatu yang dapat terbang, dan yang tidak bergerak, dituntun oleh kebijaksanan-Nya dan mereka memiliki kekuatan kebijaksanaan itu. Kebijaksanaan itu yang memperhatikan dunia, Kebijaksanaan itu yang menjadi landasannya, Kebijaksanaan itu adalah Brahman Yang Abadi. Dengan demikian maka Brahman adalah nama Tuhan yang umum dalam Upanisad-upanisad. Brahman Bukan hanya maha ada, ada dalam semua tetapi semua yang ada, ada di dalam Brahman. C. TUHAN DALAM AGAMA HINDU DI INDONESIA (SIWA TATTWA) Agama Hindu yang berkembang di Indonesia, secara umum disebut ajaran Hindu Saiwa Sidhanta. Seperti dalam uraian di atas baik dalam Weda maupun upanisad Tuhan dipanggil dengan sebutan yang berbeda, di Nusantara juga ditemukan nama-nama Tuhan yang berbeda. Jika di India nama-nama Tuhan lebih dikenal sebagai Dewa yang merupakan sinar suci Sang Hyang Widhi, maka di Indonesia lebih populer dengan sebutan Bhatara. Istilah Bhatara berasal dari akar kata bhatr yang artinya pelindung. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan yang menjadi obyek pemujaan sebagai aspek pelindung, artinya keinginan rasa aman, nyaman sangat dibutuhkan bagi sebagian besar rakyat Nusantara. Karena itu segala yang melindungi disebut dengan Bhatara. Misalnya Bhatara Brahma lebih populer daripada Dewa Brahma, Bhatara Wisnu lebih populer dari Dewa Wisnu demikianlah nama Bhatara itu menjadi sangat umum dalam Lontar-lontar Tattwa, yang merupakan sumber ajaran Ketuhanan dalam Agama Hindu di Indonesia. Secara umum sebutan untuk Tuhan dalam masyarakat Indonesia adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Menurut Drs. I Gede Sura dan kawan-kawan Sang Hyang Widhi Wasa berarti Yang Menakdirkan Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang hyang Tuduh atau Sang hyang Titah. Namun istilah ini tidak secara tertulis disebutkan dalam sumber lontar. Dalam Sastra lontar yang sebagian besar bercorak Siwa yang ditemukan di Indonesia, Tuhan dipanggil dengan sebutan Bhatara Siwa. Dengan demikian maka agama Hindu di Indonesia secara umum memuja Bhatara Siwa sebagai Sang Hyang Widhi Wasa. Seperti halnya Weda maupun Upanisad maka ajaran Ketuhanan dalam Siwa Tattwa tidaklah berbeda, mengingat Weda sebagai Sumber tertinggi ajaran Dharma. Dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapati uraian tentang Tuhan yang senada dengan Weda maupun Upanisad: Sa Eko bhagawan sarwah Siva karana karanam, Aneko viditah sarwah Catur vidhasya karanam Ekatwanekatwa swalaksana Bhattara. Ekatwa ngaranya, kahidep maka laksana ng Siwatatwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira, Mangekalaksana Siwa karana juga, tan paprabedha. Aneka Ngaranya kahidepan bhattara maka laksana caturdha. Caturdha ngaranya laksananiran sthula, suksma, parasunya. Artinya: SifatBhatara adalah Eka dan aneka. Eka artinya Ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwa karana (Siwa sebagai Pencipta)tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat Caturdha artinya adalah stula suksma para sunya. Uraian yang demikian akan banyak kita jumpai dalam sumber-sumber Siwatattwa yang lain, yang pada akhirnya mengarahkan kita untuk menarik kesimpulan Tuhan Itu Satu. Tuhan yang satu ada dalam yang banyak, dan yang banyak ada dalam yang satu. Atau semua yang ada bersumber dari Tuhan, ada didalam Tuhan, diresapi oleh Tuhan. Nama Tuhan didasarkan pada sifat dan fungsi yang dilekatkan pada aspek kekuatan Brahman. Hal ini dapat kita jumpai dalam lontar Bhuwanakosa Patalah III sloka76: Brahmasrjayate lokam Visnuve palakastitam Rudratve samharasceva Tri murttih nama evaca Artinya: Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam mencipta dunia ini adalah: Brahma wujudNya waktu menciptadunia ini, Wisnu wujudNya waktu memelihara dunia ini, Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini, Demikianlah tiga wujudNya (Tri Murti) hanya beda nama. Dalam uraian diatas Bhatara Siwa sebagai Tri Murti, yang satu berwujud tiga sesuai dengan fungsinya. Bhatara Siwa adalah Brahma Wisnu dan Iswara, maka Brahma Wisnu dan Iswara adalah Bhatara Siwa. Yang satu berwujud tiga, maka yang tiga itu sesungguhnya satu. Dalam beberapa uraian Siwa Tattwa juga kita dapati ajaran yang menyatakan Tuhan bersifat Imanen dan transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana, transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia. Berikut kutipan slokanya: Sivas sarwagata suksmah Bhutanam antariksavat Acintya mahagrhyante Na indriyam parigrhyante Artinya: Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan, Ia seperti angkasa, tak terjangkau pikiran dan indriya. Dari kutipan sloka diatas disimpulkan bahwa Bhatara Siwa memiliki sifat meresapi segala, artinya Ia hadir pula dalam setiap pikiran manusia maupun indria, namun Ia tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, karena Ia mengatasi pikiran dan Indriya. Ia hadir dalam diri kita namun tidak kita ketahui karena keterbatasan manusia. Karena Ia hadir dan meresapi segala maka ia maha mengetahui, tidak ada satupun mahluk yang bisa lepas dari pengamatannya. Segala tindakan manusia, semut dan kuman bahkan daun yang jatuh sekalipun selalu ada dalam pengelihatannya. Ia ada pada semua yang ada, semua yang ada berada dalam diri-Nya.

Tidak ada komentar:

Vasudewah sarwam iti

“ Vasudewa h  sarwam iti ” Persaudaraan Semesta Oleh : I Gede Adnyana, S.Ag Prakata Pemirsa yang berbahagia, berbagai kejadian...